Friday, April 20, 2012

6 Bulan Yang Menghilang

Wajah lugu, polos, dan periang itu telah lama tak terlihat akhir-akhir ini. Teman kecil sebayanya selalu berkumpul di ujung siang dekat pohon jambu batu depan halaman rumah neneknya. Satu persatu daun telah berguguran jatuh tertebak angin. Kamana Lala teh?, gumam Caca salah satu teman karibnya. 

Pemilik wajah itu kini telah pergi ke kabupaten tetangga sebelah karena pindah kerjaan orang tuanya. Tak ada kabar jenaka tentangnya lagi pasca kepindahannya itu. Jambu buah favoritnya begitu merdeka bergelantungan dimana saja di dahan pohonnya. Maklum saja, itu bisa terjadi lantaran sang penggemar buah telah lama tak menyambanginya. 

Permainan masak-masakkan merupakan permainan yang selalu asik di mainkan olehnya dan kawan-kawan. Tak jarang tanaman tetangga tak pernah utuh berdaun sempurna. Daun mamangkokan, bunga mawar, bunga melati, daun jambu pastilah memenuhi dalam daftar komposisi masak-masakannya. Oh ya, tanah dan sebotol air pun menyertai unsur hidangan bohong-bohongannya itu. Dedaunan biasanya  mereka jadikan masakan kecuali daun jambu. Ya, daun jambu yang cukup lebar seukuran dengan uang kertas itu di jadikan alat tukar tak ubahnya uang yang mereka sebut -duit-. Tanah dan sebotol air biasanya mereka sulap menjadi seonggok "kue ulang tahun" yang begitu sepesial versi mereka. Lagi-lagi dunia anak mereka begitu menyenangkan hari-harinya di penuhi dengan bermain. Cerdas bukan?

Monday, April 16, 2012

Wajah Cinta

Lama rasanya tak menulis lagi. Salam sahabat pembaca yang budiman? Rupa-rupanya masa 'alpa' saya tak menulis di blog ini, menjadikan saya lupa bagaimana menulis dengan lumayan apik seperti dulu. Tapi sekali lagi ini langkah awal yang harus di lalui dan semua orang pasti pernah mengalaminya. Ok, kita awali tulisan ini dengan kata "cinta".

Tepatnya malam kemarin, saya lihat wajah cinta kala itu. Begitu santun, ramah, dan menenangkan. "laaillaaaha ilallahhhh..." adzan maghrib telah terkhatamkan oleh para muadzin kondang di kampung. Saat itu begitu tenang dan tak ada yang membayangkan seisi rumah di ujung senja itu akan kedatangan tamu. 

Saya lihat dari sela-sela jemuran pakaian yang sudah saya susun di jemuran depan rumah, nampak begitu ramai di dapur sana. Ya, dapur. Bagi sebagian tamu yang sudah familiar, itu menjadi tempat yang begitu kental akan kekeluargaan baginya dan penghuni seisi rumah.

Tapi dari depan rumah, saya lihat banyak orang lalu lalang di salah satu tetangga. Tanpa ada bahasa sapa terucap yang terlihat hanyalah wajah mereka yang begitu cemas dan langkah kakinya yang begitu terburu-buru seperti ada peristiwa yang akan menggemparkan kampung ini seperti 3 bulan yang lalu, salah satu tetangga yang juga saudara saya tersambar petir saat menjelang isya yang hujan. Lampu bohlam serumahnya mati alias putus karena sengatan petir yang mengancam. Tapi sekali lagi saat ini bukan karena kejadian 3 bulan tempo lalu. Saat ini berbeda, tak ada tetesan hujan yang mengguyur halaman, tak ada petir yang menyalak-nyalak, dan tak ada yang tersambar petir. Namun kekhawatiran mereka hampir sama dengan peristiwa petir itu.