Tuesday, December 18, 2012

Itu Dia?

Sore itu lembayung senja tak nampak seperti biasanya. Awan mendung bergumpal-gumpal seperti membentuk pola lukisan yang sesekali diselinggi oleh rintikkan hujan dari atas sana. Fadillah begitu paham dengan gejala siklus alam ini. Maklum saja saat ini telah memasuki bulan-bulan penghujan, November. Selepas Fadillah pulang dari aktivitas di hari Jum'at berkah ini, maka hanya sebuah kalimat yang bergelayutan dinalar Fadillah. Ya, “Pulang Kampung!” itu dia kalimat yang begitu setia men-sugesti Fadillah selama empat bulan terakhir ini di ibu kota Periyangan tempat Fadillah mengadu nasib.

Sepeda motor bebek andalan Fadillah, -Joni-. Telah siap menghantar pemuda asal Subang ke ujung dari kota ini hingga sampai ke kota asal. Tikungan demi tikungan, lampu merah, penjual koran, manusia platinum relawan sumbangan panitia asuhan, genangan, tikungan lagi, SPBU milik pemerintah, plang kereta api, Kereta api lewat, lampu hijau, tugu tunas kelapa, lampu merah, lampu hijau, tikungan jalan Istoqomah, Masjid Istiqomah, andong, komplek masjid PUSDAI, tikungan, lapangan Gasibu, gedung Sate, jembatan layang Pasupati, jalan Dago, taman Telekom, gedung Telekom Indonesia, Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, gang-gang panyingkiran, gerobak mie ayam Janda (Jawa Sunda), hingga sampai di gedung berupa rumah yang tersekat tiga dipojokkan daerah Panyingkiran.

“Assalamualaikum…” salam Fadillah. Rupanya kontrakkan yang kami sewa sedang tak berpenghuni. Tanpa basa-basi pintu pun Fadillah buka dengan kunci yang setiap kami pegang tiap masing-masing. Sesegera mungkin Fadillah raih ransel yang telah disiapkan sedari pagi tadi. Jaket kain pun Fadillah ganti dengan jaket kulit yang lebih aman untuk perjalanan jauh. Jam saat itu telah menunjukkan setengah lima sore. Langkah pun Fadillah perlebar menuju Joni. Dan setarter pun Fadillah nyalakan.

Fadillah pandangi sejalur panjang Dipati Ukur begitu ramai ditepi-tepi bahu jalannya. Hingga teringat sesosok pemuda yang lebih gemar berjalan karena tak berkendara Joni, saat kuliah. Dulu kaki ini lebih banyak melangkah dari pada sekarang, sering mengenakan jaket bertuliskan organisasi yang begitu banyak merubah arah hidupku dengan celana bahan yang terkadang bila dipikir-pikir sekarang culun juga gaya ku dulu ya? gumam Fadillah mengenang.

Thursday, November 22, 2012

Pentak Umpet masih Eksis gak yah?

Masih ingat dengan kata-kata ini, "Hompimpa alaium gambreng"? Sebuah kalimat yang sampai saat ini saya tak tahu apa itu artinya (udah tahu, deng artinya. Tadi nge-googling yang artinya, “Dari Tuhan Kembali Ke Tuhan, Mari Kita Bermain !!!”). Namun begitu sakral untuk dinyanyikan apabila memulai sebuah permainan tradisional yang salah satunya adalah -Pentak Umpet-. Ya, Pentak Umpet merupakan permainan yang cukup mengasyikkan ketika saya kecil dulu. Permainan ini begitu membuat saya dan teman-teman begitu menikmati masa kecil kami. Permainan yang juga biasa di sebut dengan -Ucing Sumput- di tataran Sunda ini juga begitu di gandrungi seantero nusantara pada jamannya. 

Ok, saya coba mendeskripsikan aturan main dari permainan ini terkhusus untuk anak-anak di jaman yang serba digital ini. Yang pertama ada istilah "Kucing". "Kucing" ini adalah anak yang berjaga di sebuah tembok atau pohon dan biasanya di sebut Inglo untuk di daerah Jakarta dan sekitarnya dan ada juga daerah lain yang menyebutnya dengan Hong dan Bon. Ok balik lagi ke si "Kucing" atau anak yang jaga, awalnya bertugas untuk memejamkan mata sambil berhitung 1 sampai 10, tujuannya untuk meng-ikhlas-kan teman-temannya untuk berlari dan bersembunyi. Ya, biasanya sih kurang ikhlas juga karena sang "Kucing" sering kali menghitungnya dengan cepat hingga teman yang lain tak sempat untuk mencari tempat persembunyiannya.

Tuesday, November 13, 2012

Undangan Nikah Seorang Kawan di Kota Angin

Langit pagi saat ini begitu jernih kawan. Ku edarkan pandangan mata ini ke langit, tak ada segumpal pun awan yang berarak. Sesekali ku hirup udara pagi yang begitu bersih di halaman depan indekos sambil merenggangkan tangan dan pinggang yang berusia se-perempat abad ini. Ku dapati beberapa kawan begitu sibuk di pagi ini. Yasir, begitu subuh sekali merelakkan tubuhnya tersentuh air demi sebuah undangan kawan kami. Padahal aku tahu dia begitu menggigil karena ulah udara subuh Bandung yang berkolaborasi dengan air PDAM-nya. Uci sibuk mengayuh pedal mesin sepeda motor bebek biru langsatnya untuk mengantar Yasir mengambil mobil sewa-an kami dengan alih-alih ingin memanaskan jantung sang sepeda yang konon bermesin itu, sambil menunggu Yasir menyudahi pertempurannya di kamar mandi pagi ini.

Husna sang ketua rombongan begitu sibuk dengan batik yang ingin dipakainya siang nanti (menggosok-gosok setrika-an yang panasnya pol banget) hingga kusut hilang dari area batik kebesarannya (besar ukurannya). Ia pun tidak lupa menyiapkan kopiah dan kaca mata berkaca ungu nyentrik. Berbeda cerita dengan Zae, temen ku yang satu ini sedang mengumpulkan kesadarannya pasca shalat subuh berjama'ah tadi, ia langsung menuntaskan jatah tidurnya yang terpotong karena obrolan kami semalam (maklum lama gak jumpa). Matanya terlihat masih sulit untuk di buka dan ia berucap, "Bangunin Ane 10 menit lagi yeh!"

Satria temanku asal Tanggerang ini tak terlihat begitu sibuk, yang ku lihat dia sedikit kesakitan dengan perutnya yang ia bilang, "Radang ane kambuh euy." sambil meringkih kesakitan ia mengusap-usap perutnya sejak semalam. Tapi ia begitu berniat datang. Buktinya ia datang lebih awal ke Bandung di antara kawan lain yang di luar kota. Tapi al-hasil perutnya dapat berkompromi dengan niatnya, hingga ia bersiap-siap mempersiapkan baju kemeja kotak-kotaknya yang lebih dominan biru warnanya selaras dengan celana jins-nya. Dan yang terakhir Asep Supriyadi kawan yang usianya lebih muda diantara kami ini, masih terpejam dengan nyaman dikasur empuknya mengikuti jejak Zae yang terlelap.

***

Satu jam kemudian, Aku sendiri masih menunggu jatah ke kamar mandi yang hanya satu buah di bangunan 10x5 meter ini. Tapi kalau untuk urusan kesiapan pakaian yang akan dikenakan sudah pasti telah siap, kamera poket untuk dokumentasi perjalanan sudah tersiapkan dengan apik di tas gendong kecil, dan tripot ukuran 150 cm telah siap untuk di angkut. Namun rupanya antrian ku setelah Asep. Ya Asep teman ku yang sudah hampir satu jam beraktivitas diruangan yang satu buah itu. Ternyata masih ada dua kawan dibelakang ku; Zae dan Husna masih mengantri.

Tanpa sengaja ku lirik Masjid yang tepat berada di depan indekos kami. Tanpa pikir panjang ku ambil peralatan mandi dan handuk, melesat kesana. 

Sunday, October 28, 2012

Sebungkus Kacang Kulit Mengupas Sejarah

Di Hari Tasyrik ini, saya sedang berduduk-duduk santai di Warung Mas Dedi sambil berbincang-bincang ringan dengan beberapa kawan sambil ditemani secangkir teh manis hangat dan satu bungkus kacang kulit. Tepat didepan warung melintang jalan raya yang bernama jalan Terusan Kapten Halim - Pondoksalam. Jalan yang kami pikir tak ada kisah penting di dalamnya. Jalan yang menghubungkan 3 (tiga) kecamatan ini begitu biasa pada umumnya. "Tapi ieu jalan teh boga andil euy dina jaman perjuangan baheula!" ujar Biho seorang kawan.

Saya terasa tergelitik ingin mengetahui sejarah lebih jauh tentang jalan yang ada di depan kami ini. Bila berdiskusi dengan kawan-kawan di hadapan saya seperti Biho, Urip, Daday mereka mempunyai argumentasi sejarah versi masing-masing. Ada yang bilang soal penamaan ini berasal karena untuk mengenang perjuangan Kapten Halim pada masanya, ada juga yang bilang biar match dengan tugu yang terpancang kokoh di daerah Lanca Darah. Apapun opini mereka mungkin secara rangakaian ini ada hubungannya; nama jalan, tugu, dan pejuang yang bernama Kapten Halim.

Pernah saya coba untuk mencari tahu dengan bertanya ke Mbah Google, dan hasilnya nihil sudah. Untuk mengetahui sosok sang kapten yang berjasa ini dijawabnya hanyalah sekedar nama jalan saja. Rupa-rupanya Mbah Google kehilangan kesaktiannya kali ini. Saya putuskan menemui salah satu sesepuh di daerah Pondoksalam, KH. Mahfudin. Beliau mengutarakan Jalan Kapten Halim ini merupakan cara untuk mengenang jasa sang Kapten dengan mengabadikan namanya sebagai nama jalan. Sebab perjuangan beliau dan pasukan menghalau penjajah Belanda yang luar biasa pada masanya itu pada tahun 1920-an, yaitu bagaimana Sang Kapten berhasil meledakkan tiga truk yang sedang mengangkut bala tentara kolonial di daerah Lanca Darah yang merupakan tempat terakhirnya berjuang. Beliau menjegal para bala pasukan kolonial dengan menggunakan kabel listrik yang di pancangkan di kedua sisinya ke pohon sebagai perangkap. kemudian menyergapnya dari sisi-sisi jurang dan tebing.

Tuesday, October 9, 2012

Prahara Gang Ujung Kampung dan Ajun Rombeng 3

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh, Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh." ucap Haji Sanip yang di ikuti koor para jama'ah dibelakangnya termasuk Ajun.

Semiliri angin subuh sesekali menggoyangkan dedaunan pohon pisang yang tumbuh liar disamping mushola. "Al-Ikhlas" nama dari sebuah mushola yang kini mulai ramai didatangi warga sekitar dan itu termasuk Ajun pemuda urakkan yang semaunya bila berpenampilan. Di Subuh itu Mushola ini seolah tersenyum pada Ajun. Ajun pun dengan hati yang sedikit tenang merasakan keramahan ruangan kubus 4x4 ini.

"Jun, rajin lu sekarang?" tanya salah seorang jama'ah yang juga sepantaran dengannya, Sahili. Ajun menjawabnya dengan anggukkan dan senyumannya yang khas. Jama'ah yang lain pun bergegas pulang ke rumah masing-masing selepas shalat berjama'ah.

"Nah, Jun gimane sekarang perasaan lu?" Haji Sarip bertanya sambil duduk bersila dihadapan  Ajun.
"Iye, Ji. Ane tenangan gak kayak malem tadi, ni ati kayeknye panas bener semalem...." jawab Ajun sambil membenarkan duduk dan tentunya senyuman gigi kuning langsatnya menghiasi wajahnya yang kurus.

Tuesday, September 25, 2012

Mona Lisa Suka Padanya....

Siang ini begitu teduh diguyur hujan sedang, dimana saat aku membuka lembar demi lembar buku bacaan yang sedang inginku khatamkan ini. Berteduhkan atap dari anyaman tanaman padi yang telah menguning terpanen, disaung dekat pohon mangga depan halaman rumah. Aku meneguk kisah dari setiap paragraf sang penulis ceritakan. Dalam sunyi dan belaian halus angin yang berhembus di antara sela air hujan, aku begitu khusyuk menikmati suasana ini, tiba-tiba terkoyak-koyak suasana nyaman itu setelah seorang pria dari ujung gang menghampiriku, “Woi, Pit ieu kuring………….[0]”

Suara nyaring itu begitu tak asing bagi ku namun sedikit me’dok aksen jawa. Ya, dialah Suryana, atau sering dipanggil orang sekampung -Yana Bageur-. Ia merupakan pemuda yang baik dan sopan. Pendidikannya memang tak tinggi, hanya tamatan SMP saja, tapi dengan sederet talenta alaminya, dia menjadi sesosok pemuda yang cukup berhasil mengarungi kerasnya kehidupan ini. Dan aku sebagai sobat sedari orok begitu bangga dengannya.

“Woi, Yan……?” sahutku sambil melambaikan tangan menyambutnya.

“Ti mana Euy….?[1]” Tambahku sambil berteriak. Sesampainya sosok yang begitu bersemangat ini di hadapanku, ia pun tersenyum dan menjawab pertanyaanku tadi, “Alhamdulillah, Pit. Kuring teh ayeuna tos damel.[2]” 

Yana begitu bersemangat menceritakan pengalamannya merantau selama satu tahun tujuh bulan ini. Begitu sepi kampung ini, karena kebanyakan dari pemudanya merantau, termasuk aku. Inilah pertemuan pertama kami untuk satu tahun tujuh bulan tak saling bersapa. Yana pun bercerita bahwa ia diterima kerja disalah satu perusahaan terkemuka di Semarang, sebagai seorang tenaga administrasi. Ia pun menceritakan kelancaran kerjanya, karena tak perlu waktu lama baginya untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai orang yang berkompeten diperusahaan, hanya dalam tempo satu tahun ia sudah dipromosikan menjadi Assisten Manager.

“Wah hebat euy di dinya, Yan.”

“Ya, Alhamdulillah, Pit.” begitulah Yana dari dulu selalu rendah hati.

“Seneng atuh nyak damel teh?[3]”

“Ya, kitu weh Pit ari ngaran na damel mah.[4]” lihat dia menjawab kembali dengan santun.

“Tapi Pit, saya mah asa cangkeul di ditu teh.[5]”

“Naha make cangkeul, Yan? Ongkoh seneng.[6]” Aku telah berpikir ini pasti soal kerjaannya di ibukota provinsi tetangga yang ia ceritakan.

“Nyak euy, cangkeul teu bisa make bahasa sunda![7]” Aku terlihat bodoh di hadapanya setelah mendengar candaannya. Kontan kami berdua larut dalam gelak tawa, “hahahahahaha…..”

Ia pun menceritakan soal pengalamannya di awal tahun kedua ini, bahwa ia bertemu seorang gadis ayu asli produk lokal yang cukup mencuri perhatiannya selama perkenalan hingga saat ini (Suweeer deh, Yana bilang gitu).

Gadis ayu yang telah memborgol hatinya Yana ini bernama Wening. Bagaimana Yana tidak terpincut oleh gadis ini? Setelah aku melihat wajahnya di-wallpaper HP Yana yang sepertinya hasil jepretan curian ini begitu terlihat seperti lukisan ‘Mona Lisa’ yang terkenal karena senyumannya yang begitu anggun, tapi kalau aku bilang ini versi Wong Jowo-nya[8]. Kemudian Yana mempertegas  sosok anggun yang ada di HP-nya ini, “Wening teh sifat na lembut, terlihat pintar, mudah bergaul dan memiliki wajah yang khas alias geulis.[9]”

Namun sayang Yana merasa bahwa Wening terlalu "tinggi" buat dia, Yana pun urung mengutarakan rasa yang bergelayutan dihatinya pada Wening.

Enam bulan sekantor dengan Wening, membuat Yana cukup menyiksa perasaannya yang kian kuat, tapi apa daya untuk menyampaikannya malah menjadi salah tingkah. Saking salah tingkahnya Yana pernah terpegoki oleh Wening pada saat Yana curi-curi pandang ke wening dari meja kerjanya  sambil membaca Koran. Dan saat itu juga Wening menghapiri Yana dan berucap sambil membenarkan posisi koran, “Mas Yana hebat yah, baca koran kok bisa terbalik gitu yah?” Alhasil wajah Yana merah padam.

Disaat Yana sudah mulai terbiasa untuk menyembunyikan perasaanya dengan kehadiran Wening di hari-hari kerjanya, terdengar kabar bahwa Wening akan keluar dari kantor untuk melanjutkan study-nya keluar negeri. Kabar ini membuat Yana begitu sedih karena tak ada kesempatan lagi untuk melihat Wening dan merasakan degup jantung yang begitu bergelora disetiap harinya.

Singkat cerita, satu bulan setelah kepergian Wening, Yana mulai resah akan cinta senyap-nya takkan tersampaikan, karena tengah menuntut ilmu dinegeri orang sana. Ditengah kegalauannya tiba-tiba ada angin segar menghapiri berupa tawaran dari seorang senior untuk dikenalkan dengan seorang gadis kenalannya. Tapi dengan hormat, Yana langsung menampik tawaran dari seniornya itu. Tanpa basa basi Yana mengutarakan alasannya, bahwa dia agak sedikit kaku dengan cara perjodohan seperti ini.

Yana pun akhirnya memilih untuk mencari cintanya sendiri. Takdir mempertemukan Yana dengan Tiwi. seorang wanita karir yang dikenali Yana via Facebook. Setelah sekitar 2 bulan, berkomunikasi akhirnya Yana dan Tiwi sepakat untuk "kopi darat" atau ketemuan. Dari pertemuan itu, kemudian Yana yang berambisi untuk mengakhiri masa lajangnya lebih cepat, tanpa basa basi langsung melamar Tiwi, dan Tiwi pun tak kuasa untuk menolak lamaran Yana. Mereka pun bersepakat untuk meresmikan hubungan ini dihadapan kedua orang tuanya masing-masing, dan dicarikan hari baik untuk pernikahan. (Ckckckck, sedih bener ente Yan.)

Begitulah Yana menceritakan kisahnya selama perantauannya ini. Ia pun setelah panjang lebar bercerita memohon pamit langsung pulang, untuk mengutarakan maksudnya pulang kampung, yaitu meminta restu kedua orang tuanya atas hubungannya dengan Tiwi gadis ayu lokal lain yang membuat ia sedikit melupakan –Mona Lisa Wong Jowo- di negeri seberang sana.

Friday, September 21, 2012

Prahara Gang Ujung Kampung dan Ajun Rombeng 2

“Maafin Ajun yah, Ji?” mohon ajun sambil mencium tangan Haji Sarip. 
“Udeh-udeh jangan minta maaf ke gue. Noh, minta maaf ke lu punya Tuhan –Alloh Azawajala- ame lu punya orang tue!” terang Haji Sarip.
Subuh itu setengah sadar Ajun mengutarakan yang begitu sentimentil bagi nuraninya dan Haji Sarip yang mendengarnya, "Maafin Ajun yah, Ji?" 

Dengan berjalan sempoyongan ia perlakukan celana jins kesayangannya seperti biasa, menyeretnya. Wajah tua Haji Sarip begitu tersenyum melihat anak muda yang sedang ia tuntun ke Mushola hasil wakaf peninggalan Almarhum Sobatnya, Sahili (Babeh Ajun) dan ia. Sesekali Ajun hampir menjatuhkan badannya yang kurus karena pengaruh alkohol murahan yang masih merasuk. "Astagfirullah, Jun lu pasti bisa! Nyok, baca Basmallah. jalannye pelan-pelan, aje!" Haji Sarip menuntun dengan perlahan dan sabar.

"Iye, Ji. Makasih.", sahut Ajun yang kehilangan keseimbangannya.

"Udeh lu nanti ambil wudhu, biar segeran gitu!"

"Iye, Ji" jawab Ajun sambil tersenyum di selingi bau alkohol murahan yang masih meradang.

Selangkah demi selangkah ke dua manusia ini menyambangi tempat wudhu yang tak jauh dari mushola yang dimaksud. Tepatnya disamping kiri mushola dekat sumur galian yang alhamdulillah belum pernah kering walau musim kemarau panjang.

"Ya, udeh lu wudhu dulu sono, biar segeran!" saran Haji Sarip sambil masuk ke mushola meninggalkan Ajun. 

Ajun hanya menjawab dengan senyumnya yang khas. Ajun memulai dengan menggulung baju kaos lengan panjangnya, kemudian ia membuka keran memulai ber-wudhu. Ia mulai mengusap-ngusap tangannya hingga bersih tak berbau cairan yang memabukkan tempo dipos ronda tadi. Berlanjut ke rukun wudhu yang lainnya hingga sampailah ia membasuh kedua kakinya. Dalam hati Ajun bergumam, Waduh -Si Rombeng- bisa kebasahan nih? Ntar gue disuruh ngelepas nih celana di ganti make sarung lagi sama Ji Sarip. Wah kagak dah, gue bisa mati gaye di depan Alloh. Mending gue rela -Si Rombeng- basah, asal gue keliatan keren di hadapan Alloh.

Tanpa berpikir panjang Ajun pun meneruskan wudhu-nya yang terpotong tadi. Ia dengan santai membersihkan kaki dan sekaligus -Si Rombeng-. Sesekali ia usap dengan semangat untuk menghilangkan tanah yang terjaring di sisi-sisi celana menggunakan serabut kelapa yang biasanya orang kampung sini di pake buat nyuci piring.
***

Tuesday, September 4, 2012

Lagi-Lagi soal Cinte: Kisah Yang Terlupa


Selepas jogging yang berakhir dengan kejar-kejaran itu, Eep menghampiri kamar kostan-ku dengan wajah yang sudah tidak menyeramkan seperti pagi tadi. Aku yang sedang santai didepan CPU meng-edit foto-foto disela jogging tadi, tersenyum padanya. “Kenapa ente Fit?” tanyanya heran.

“Ah, kagak ape-ape. Pengen senyum aje.”

“Waduh Ente kagak sakit kan?” tanyanya khawatir plus dengan wajah paniknya.

“Ape sih? Ade-ade aje. Ane kagak ape-ape, yang ade luh kali? Tumben nongol nyelonong aje ke kamar ane.”

“Lah, biasanye juga gitu kan?”

“Salamnye mane?” jawabku sambil melanjutkan kesibukan.

“Oh iye-iye. Assalamualaikum?”

“Waálaikummussalam wr. Wb.”

”Alhamdulillah dijawabnye lengkap.” tembal Eep, dan disusul gelak tawa kami berdua.

Entah ada angin apa siang itu, Eep tiba-tiba merebahkan badan tambunnya di atas –Humairah-. Kemudian Ia memulai pembicaraan di ruangan 4x3 meter tempat aku bermukim di kota ini. “Sob, gimane menurut Ente soal Santi?”

“Klo menurut Ane sih, si Doi emang cocok buat Ente, Ep.” Tiba-tiba mata Eep begitu berbinar-binar mendengar pendapatku yang sebenarnya termasuk pendapat yang standar.

“Terus-terus?” selanya.

“Ya, klo kata banyak orang yang ane sendiri gak percaya soal gituan, mereka bilang kalo wajahnya sama itu jodoh namanye.” Semakin menjadi-jadi saja Eep dalam diam dan aku rasa dia telah memasuki dunia khayalannya.

“Tapi sayangnya Ente sama Santi gak ade mirip-miripnye tuh.” lanjut argument-ku dan disusul puas tawa ku sendiri dan Eep yang terlihat cemberut.

Saturday, September 1, 2012

Sepatuku dan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat

Degup nadi terus berdenyut menyalurkan oksigen di setiap hela napas udara yang ku hirup. Kaos kaki hitam yang sudah mulai menipis, ku pakai di kedua kaki mengalaskannya sebelum bersepatu. Sepatu kets yang selalu ku jadikan andalan untuk meregangkan otot-otot kaki telah terpasang dengan apik.

06:00 WIB, langkah pertamaku menuju tempat favoritku melepaskan bulir-bulir keringat yang mandeg sepekan karena tak berolahraga kini akan deras mengalir. ku pandangi taman-taman tengah kota itu; Kursi taman yang berjajar masih setia walau telah bekarat, bunga-bunga merekah dan berwarna yang tak ku kenalai satu persatu namanya, monumen yang kokoh menjulang tandakan kemerdekaan provinsi ini. Yah, ini dia Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat tempat yang selalu mempunyai nilai khusus bagi sang perantau namun masih seprovinsi seperti ku ini.

Saturday, August 4, 2012

Bersama di Punclut

Tepatnya sepekan sebelum bulan Ramadhan, saya mendapatkan dua buah SMS yang isinya tak jauh berbeda dan jaraknya tak terlalu jauh, hanya hitungan menit saja.

Salam, Fit gimana kabarnya?............. Kira2 kpn kita bukber nih?

Kurang lebih pertanyaannya seperti itu. Sekali lagi, saya memandang pertanyaan ini bukan pertanyaan yang biasa-biasa saja. Seperti setitik embun di hamparan padang pasir tandus saya mengibaratkannya. Jika harus menerawang jauh semasa di kampus, sungguh tak sanggup untuk membayangkannya. Karena rasa rindu itu sangat cepat menyelimuti dunia batin saya.

Bila harus membayangkannya sekuat tenaga, maka yang terbayang, bagaimana kita dulu begitu polosnya menyandang sebagai seorang mahasiswa baru, berkumpulnya kita dalam kekompakkan disebuah organisasi yang luar biasa, serta cerita-cerita lucu yang selalu menjadi bahan ceritaan paling favorit untuk kita bahas hingga bahu kita terguncang tak terkontrol karena geli tertawa.

Kenangan dulu begitu indah, kawan.

Tanpa berpikir panjang untuk menjawab SMS dari teman saya dari luar kota sana, maka SMS balasan yang berjumlah massal saya kirimkan ke ke-dua sahabat saya yang menanyakan dan sahabat yang lainnya.

Salam, Sahabat Super............ Insya Allah kita angkatan 2005 adakan buka bersama. Untuk kehadiran dan ketidak hadirannya tolong konfirmasi ke No ini 085xxxxxxxxx. Trims Atas perhatiannya. (PanitiaTembusan dari Ketua Ika xxx. :)

***

Menjelang H (-1) saya mencoba untuk mengabarkan lokasi kita akan berkumpul dan tentunya melepas rindu yang telah tertahan hampir setahun yang lalu. Saya coba diskusikan dengan sahabat saya yang masih menetap di kota perjuangan ini. "Ci, Us, gimana nih? kira-kira kita milih tempat yang asik dimana yah?" tanya saya membuka pembicaraan.

"Udah di dalam kota aja, klo-klo nanti ada yang bawa keluarga. gimana?" usul Uci brilian, karena dia bisa di bilang pakar kuliner termansyur di kostan atau base camp kami. :)

"Iya di kota aja Fit biar mudah aksesnya." Uus berpendapat.

"Tapi klo gak ada yang bawa keluarga, gimana?" saya lemparkan kembali pertanyaan tambahan.

"Nah klo itu gampang." Uci menjawab dengan santai, "Kita dah lama tuh gak ke Punclut lagi? Gimana Klo kesana?" usulnya yang kedua kalinya dan semuanya memang T.O.P (Top banget dah). Saya dan Uus saling menatap dan tersenyum, kami pun meng-Aamiin-kan usulan pakar kuliner kita.

Tak selang beberapa menit jari saya begitu memerankan dengan apik lakonnya. HP, saya otak atik dengan sedemikian rupa hingga muncul-lah berita yang menggembirakan untuk kami semua. Ya, berita lokasi kita berbuka bersama.

......Kita kumpul besok di Masjid Al-Jihad jam 15.00 WIB sekalian shalat Ashar berjama'ah. Lokasi BukBer di Punclut rumah makan xxx. Trims....

***

Tuesday, July 17, 2012

Pulang

Aku berjalan di gelapnya malam di tuntun oleh remang-remangnya lampu jalanan.

Sepasang sepatu yang telah haus alasnya ku paksa meladeni pintaku.

Sebuah amplop coklat besar ku apit di tangan kananku, disitu ku simpan segala harapan.

Angin malam ini begitu menusuk tak karuan ke paru-paru, hingga ku pilih racun nikotin menghangatkannya.

Deru mesin mobil saling bergantian melewati halte yang ku acuhkan.

Ku lihat puluhan poster usang yang telah compang-camping terpasang di langit-langit dan dindingnya, pasrah.

Sampai kapan? kan ku temui berita yang menyedihkan tentang negeri ini dari koran-koran yang sudah tak bertuan, berserakkan di jalan.

Rasa-rasanya otak ini kekurangan O2 di tengah perjalanan yang akan segera berakhir.

"Mama, maafkan ananda yang belum dapat menebus restu mu di pagi tadi", lirih.[]




Kisah dari seseorang yang merindukan "Pulang".

Wednesday, June 27, 2012

Prahara Gang Ujung Kampung dan Ajun Rombeng 1


Gang Haji Sanip, sebuah gang pojokkan ujung jalan di kampung kami. Gang yang nyempil diujung jalan buntu sana tak akan ramai bila tak ada -Ajun Rombeng-, sang pemuda kampung pengangguran tamatan sekolah menengah kejuruan. Ajun di kenal sebagai orang yang periang, supel, dan murah senyum atau lebih tepatnya bisa disebut doyan nyengir. Tak jarang gigi kuning langsat pengaruh kerak tembakau berkilat-kilat hiasi senyum lebarnya. Tapi terkadang Ajun Bengal juga. Bila berjalan, celana jeansnya terseret-seret kedodoran. Maklum celana ini adalah gacoan-nya. "Celana rombeng tapi keren!” tembalnya bila ada yang mengolok-olok celana kesayangannya.

Saking cintanya Ajun dengan celana kumelnya, dia jarang ganti kecuali bila Emaknya yang nyuruh. Pernah tempo hari, itu celana udah terkapar di ember cucian Emak. Ajun dengan diam-diam mengambilnya tanpa ada yang tahu kecuali Tuhannya dan dia. Untung aje keselametin, bisa mati gaye gue klo di cuci, gumamnya sambil meninggalkan kamar mandi belakang. Mending pake sarung dah! dari pada pakai celana yang laen, tambahnya.

Thursday, June 14, 2012

Lagi-lagi soal Cinte: Jalan-Jalan dan Obrolan SMS

"Sob, besok Ahad beres subuh kita jalan nyok?" ajak Eep sesampainya ia di kosan selepas pulang kerja.

"Kagak Dah, Ane mau nyuci dulu besok." jawabku sembari rebahan di atas –humairoh-, kasur terempuk pelepas lelah. 

Tumben Eep tak langsung menembal jawaban ku yang mengecewakannya. “Ayolah, fit!”, “Sok, sibuk bener, luh!”, “Kagak Solder lu!” (maksudnya Eep; solider atau Sohib) biasanya ia mendesak dengan senjatanya itu. Ia malah terheran-heran melihat kamar kosan 2,5 x 3 meter tempatku berada. Matanya terbelalak menyisir kamar dari kanan ke kiri dan ia ulangi hingga beberapa kali, hingga ia yakin ini kamar sobat tempat curhatnya. Tumpukkan buku-buku fiksi tertata rapi di rak-nya, meja rendah menompang PC plus dengan monitor tabung serta keyboard usang berwarna hitam mengkilap, lemari baju berukuran badan Eep yang berpintu dua bertengger dipojokkan kanan dekat meja rendah tadi, humairoh melintang ke Barat dipojokkan kiri ruangan lurus dengan kiblat shalat, dan karpet karet blok warna warni tertata selaras menjadi alas humairoh.

“Wes, tumben rapih bener ni kamar. Kesambet ape Luh, Fit?” komentar Eep menyindir.

“Ape sih, ente, Ep? Yah, boleh dong sekali-kali ni kamar rapihan dikit.” Eep hanya mengacungkan jempolnya sambil tersenyum bangga padaku.

“Gimane ni soal besok?” Eep memulai genderang perang.

“Waduh sorry dulu, dah. Ane kagak ikut ya?”

“Ayolah, Fit!” Eep sudah mengangkat senjata dengan letusan peluru desakkan pertamanya.

“Beneran dah, klo kagak ada ni cucian seminggu, ane ikut dah.” argumenku bersiaga.

“Sok, Sibuk bener, luh!” Eep menembak peluru desakkan keduanya tepat mengenai dahi.

“Waduh bener dah, Ane kagak ikut yeh?” tanyaku melobinya.

“Wah, kagak solder dah luh!” Doorrrr, letusan ke tiga dinamit desakkannya.

“Ok deh klo ente maksa. Cuman bantu ane ni malem nyuci yeh?”

“Ok dah, siap...” jawabnya lantang menyepakati perundingan damai kita.

Malam itu dua ember penuh dengan rendaman pakaian di hantam habis oleh kita berdua. Hingga air di toren hasil nampung bapak pemilik kosan sedari siang habis tak bersisa. Alhasil jemuran atas depan kamarku penuh dengan pakaian basah hasil kerja bakti kami.

“Mantap dah, sob.” ujar Eep sambil mengusap dahinya dari keringat dengan lengan kanannya. Aku hanya bisa tersenyum dan berterimakasih kepadanya, “Trims, sob.”

Dan kami lepas lelah di kamar masing-masing, aku lelap di manjakkan humairah dan Eep terkapar mendengkur di atas kasur buluknya yang sudah mengkempis, karena hilang elastisitasnya di tiban berat badan sahabatku yang hampir 2 kuintal selama satu tahun ini. Ya, kasur buluknya ini baru berusia 1 tahun dipakai sahabat tambunku ini atau lebih tepatnya di tibannya. Karena ini sudah ke tiga kalinya ia mengganti kasur di tahun ke duanya berkamar di sebelahku. Bisingnya dengkuran Eep kini tak terlalu mengganggu di telingaku, serasa seperti suara dengkuran lembu di tengah sawah tempat bermainku saat kecil dulu.

Thursday, June 7, 2012

Garis Santolo di ujung Garut Selatan....

Subuh itu, kami satu tim survei yang berjumlahkan 5 orang bersiap-siap untuk pergi menuju sebuah pantai yang berada di Garut Selatan. Selepas shalat Subuh kami langsung memanaskan tiga sepeda motor yang kami tunggangi dari Bandung ke Kota Garut malam kemarin. Dan kini mereka menjadi teman setia kami yang akan menghantarkan kami sampai ke tujuan, Pantai Santolo. Ya, Pantai Santolo tujuan kami. Karena telah memikat setiap mata kami sejak di Bandung jauh-jauh hari, hingga mau kami berjauh-jauh menyambanginya.

Dan ini panorama perjalanan kami;
Panorama gunung dari kejauhan


Masih dengan pemandangan gunung dan permukiman di kaki gunungnya

Saturday, May 26, 2012

GEROBAK GORENGAN DAN WAJAH TUANYA...


Depan ujung jalan bergapura itu begitu bersih, sebuah gerobak gorengan bertengger di samping gapura menghadap jalan raya didepannya. Entah mengapa sepeda motor bebek yang saya tunggangi ini tiba-tiba mau merapat kebahu badan jalan dekat gapura dan gerobak.

"Bu, punten gorengan na nyuhun keun tilu rebu eun." pesan saya.

"Mangga, A." jawab sang pedagang dengan senyumnya.

Kursi jongko dekat gerobak menjadi tempat saya menikmati gorengan hangat di pagi dingin itu.  Perjalanan pulang dari kota Bandung ke kota asal terhenti di gang itu. Kepulan asap gorengan begitu bergelora di tangan seperti siap untuk mengganjal saya punya perut di sarapan pagi saat itu. 

Friday, May 4, 2012

May Day Yang Merona


Selepas subuh itu, aku telah bergegas menyiapkan apa yang harus disiapkan untuk pagi nanti. Jam dinding nampak congkak tak mau berbagi kemurahan hatinya untuk wajah letih sisa kemarin ini. Pukul 05.00 WIB, semuanya harus sudah rapih masuk kedalam kantung hitam yang selalu aku slempangkan di badan kurus ku ini. Pulpen, handPhone lengkap dengan headset-nya, sekotak obeng beserta kroni-kroninya, dan name tag sang kunci masuk kekawasan itu.

Perlengkapan kerja telah siap! Ok, selanjutnya kita bebenah diri. Kamar mandi dan pakaian seragam sisa kemarin menjadi tujuan. Gayung demi gayung berdayung di bak mandi yang dasarnya tak nampak karena terhalang oleh endapan lumpur sumur akibat mesin penyedot air tak berpenyaring. Maka tak jarang wangi sabun dan lumpur selalu bertempur di sekujur tubuh usai mandi. 
 
Begitu sibuk subuh itu di kamar kontrakan dua kali tiga yang menghabiskan se-per-empat gaji ku.

Friday, April 20, 2012

6 Bulan Yang Menghilang

Wajah lugu, polos, dan periang itu telah lama tak terlihat akhir-akhir ini. Teman kecil sebayanya selalu berkumpul di ujung siang dekat pohon jambu batu depan halaman rumah neneknya. Satu persatu daun telah berguguran jatuh tertebak angin. Kamana Lala teh?, gumam Caca salah satu teman karibnya. 

Pemilik wajah itu kini telah pergi ke kabupaten tetangga sebelah karena pindah kerjaan orang tuanya. Tak ada kabar jenaka tentangnya lagi pasca kepindahannya itu. Jambu buah favoritnya begitu merdeka bergelantungan dimana saja di dahan pohonnya. Maklum saja, itu bisa terjadi lantaran sang penggemar buah telah lama tak menyambanginya. 

Permainan masak-masakkan merupakan permainan yang selalu asik di mainkan olehnya dan kawan-kawan. Tak jarang tanaman tetangga tak pernah utuh berdaun sempurna. Daun mamangkokan, bunga mawar, bunga melati, daun jambu pastilah memenuhi dalam daftar komposisi masak-masakannya. Oh ya, tanah dan sebotol air pun menyertai unsur hidangan bohong-bohongannya itu. Dedaunan biasanya  mereka jadikan masakan kecuali daun jambu. Ya, daun jambu yang cukup lebar seukuran dengan uang kertas itu di jadikan alat tukar tak ubahnya uang yang mereka sebut -duit-. Tanah dan sebotol air biasanya mereka sulap menjadi seonggok "kue ulang tahun" yang begitu sepesial versi mereka. Lagi-lagi dunia anak mereka begitu menyenangkan hari-harinya di penuhi dengan bermain. Cerdas bukan?

Monday, April 16, 2012

Wajah Cinta

Lama rasanya tak menulis lagi. Salam sahabat pembaca yang budiman? Rupa-rupanya masa 'alpa' saya tak menulis di blog ini, menjadikan saya lupa bagaimana menulis dengan lumayan apik seperti dulu. Tapi sekali lagi ini langkah awal yang harus di lalui dan semua orang pasti pernah mengalaminya. Ok, kita awali tulisan ini dengan kata "cinta".

Tepatnya malam kemarin, saya lihat wajah cinta kala itu. Begitu santun, ramah, dan menenangkan. "laaillaaaha ilallahhhh..." adzan maghrib telah terkhatamkan oleh para muadzin kondang di kampung. Saat itu begitu tenang dan tak ada yang membayangkan seisi rumah di ujung senja itu akan kedatangan tamu. 

Saya lihat dari sela-sela jemuran pakaian yang sudah saya susun di jemuran depan rumah, nampak begitu ramai di dapur sana. Ya, dapur. Bagi sebagian tamu yang sudah familiar, itu menjadi tempat yang begitu kental akan kekeluargaan baginya dan penghuni seisi rumah.

Tapi dari depan rumah, saya lihat banyak orang lalu lalang di salah satu tetangga. Tanpa ada bahasa sapa terucap yang terlihat hanyalah wajah mereka yang begitu cemas dan langkah kakinya yang begitu terburu-buru seperti ada peristiwa yang akan menggemparkan kampung ini seperti 3 bulan yang lalu, salah satu tetangga yang juga saudara saya tersambar petir saat menjelang isya yang hujan. Lampu bohlam serumahnya mati alias putus karena sengatan petir yang mengancam. Tapi sekali lagi saat ini bukan karena kejadian 3 bulan tempo lalu. Saat ini berbeda, tak ada tetesan hujan yang mengguyur halaman, tak ada petir yang menyalak-nyalak, dan tak ada yang tersambar petir. Namun kekhawatiran mereka hampir sama dengan peristiwa petir itu.

Wednesday, March 14, 2012

Acil "BBC" Namaku


Tak ada yang berbeda, bahkan tak ada yang istimewa dari sebuah kampung di kilometer sembilan jalan Terusan Kapten Halim itu. Jalan raya melintang di depannya masih tetap sama dengan jalan raya kebanyakan. Hamparan sawah menghijau terhampar luas mengelilingi permukimannya. Riuh redah permukimannya terbelah oleh jalur utama yang tersusun dari batu sungai tanpa aspal hasil kerja bakti penduduknya. Mushola-mushola disana sebagai pusat tempat peribadatan, tak ubahnya  seperti kampung mana pun di tanah Pasundan lainnya. Dua garis sungai yang membentang melewati permukiman masih tetap sama; sebagai tempat mencuci bagi para ibu, tempat berkubangnya kerbau-kerbau peliharaan jika terik mentari tak mau berkompromi dengan kuit hitamnya, dan tempat favorit bagi anak-anak bermain dan guyang (renang) pagi atau sore harinya.

Namun hanya satu yang berbeda. Gapura yang setia dengan atap gentingnnya, yang tetap istimewa penuh keramahan bagi siapa saja yang menyambanginya. Plang gang berwarna dasar biru terpancang kokoh dekat gapura walau tulisannya tak terbaca dengan jelas, cat putih-nya telah rontok oleh karat. Kira-kira terbaca –Gg. Babakan Caringin RW 05- yang bagi rabun jauh pasti akan terkilir membacanya.

Kampung yang disebut ‘gang’ oleh plang depan gapuranya ini, tak ubahnya sebuah kampung kebanyakan. Pepohonan begitu subur tumbuh di setiap halaman rumah penghuninya. Pohon rambutan begitu mendominasi menghiasi halaman-halaman rumah disana. Termasuk disebuah rumah panggung tua berwarna merah lusuh dengan halaman yang cukup luas. 

Di ruang belakang rumah itu terdapat sebuah meja makan yang lengkap dengan kursi buatan tahun 1983-nya. Terlihat seorang anak usia enam tahun duduk di salah satu kursinya, sambil memakan lahap hidangan yang tersaji. Tempe goreng, semur ikan bandeng, sambel goang (Sambel yang terbuat hanya dari cabai rawit, garam, dan kencur), mentimun dan lalaban daun singkong rebus. Em, semuanya nampak menggugah selera.

Rambut yang selalu klimis dengan model belahan kanan menyampingnya telah tersusun rapih menyongsong ahad pagi. Langkah kecilnya selalu tak diketahui perginya kemana oleh sang bunda yang sering di panggil -Emak- olehnya. "Eta geura tos makan teh, teu kanyahoan leos na?" begitu keluh Emak setiap kali mendapati putra bungsunya telah luput dari hadapannya. Bahkan pernah suatu waktu di dapati anak ini sudah berpakaian dengan penuh lumpur di sekujur tubuhnya, hanya lingkaran mata dan senyum cengengesannya yang terlihat oleh Emak. Usut punya usut sang putra bungsu telah bermain di sawah Pak Lurah. “Atuh Emak da hoyong mantuan ngabajak abdi, mah.” Jelas putranya mengutarakan alasan polosnya. Emak hanya bisa mendo’akan putra bungsunya ini agar jadi anak yang shaleh selepas mendengarkan alasannya sambil mengelus dada.

Wednesday, March 7, 2012

Lidah tuh tak bertulang, tapi tajam seperti pedang?


Sahabat-sahabat, terkadang kita agak selalu meremehkan sebelah mata mengenai bab penjagaan lidah. Padahal Rasul kita Nabi Muhammad Saw berpesan, bahwasannya kita selaku muslim orang yang beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya di anjurkan menjaga lidah dan akhlak. Karena telah di jelaskan bahwasannya apa yang kita utarakan bila gibah, maka kita selayaknya seperti memakan bangkai saudara kita sendiri (Qs. Al-Hujarrat:12)

Apa yang terjadi sekarang? Fenomena program televisi begitu memfasilitasi kita untuk mengasah kemampuan gibah kita agar 'si gibah' lebih berkualitas, Astagfirullah Aladzim. Perang pemikiran sudah terjadi, sahabat. Walau kita terasa di ninabobokan dengan situasi lingkungan yang ada. Kata mereka, "kan sekarang segala informasi sudah tidak ada batas" tuntutan globalisasi katanya.

Apa jadinya bila kita menjadi seperti lupa akan mana yang hak untuk di bicarakan dengan mana yang gibah atau gosip bahasa keren sekarang. amnesiakah kita??? Artis-artis sekarang merubah trend dengan pembahasan barunya, "perceraian jadi musiman???" Sungguh aneh saat ini! Pada hal salah satu urusan yang di benci Alloh adalah ini.

Ada sebuah ungkapan "lidah tak bertulang namun tajamnya seperti pedang". Menurut saya itu benar adanya bila penjagaan tak dilakukan, salah satunya dengan sahum atau puasa. tapi lidah pun bisa menjadi lembut dan bermanfaat. Misalnya menghalalkan yang tadinya haram, contoh kongkretnya; ijab qabul suatu pernikahan. Dan banyak hal yang lainnya seperti menasehati dan lainnya.

Mungkin ini menjadi sebuah renungan bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umunya.

Wallahualam bisawab.....


Saturday, August 1, 2009 at 12:25pm

Ada Apa Pagi Ini ???

Kini Malam Bercerita tentang tenangnya

Ketika Pagi Buta Semua Sibuk Bangunkan Sang Pengkantuk

Puluhan Benih Bangsa Kehausan Ilmu Pagi ini

Ada Apa Pagi Ini ???

Kemana sang Pengajar ???

Pulang Sajakah Aku Tak Peduli

Seakan Urungkan Niat Tuk Ubah Yang Salah

Tapi Itu Bukan Sebuah Jawaban

Maka Hadapi Saja Semua Dengan Ilmu Yang Ada

Walau Sederhana.


Karya : Fitrah Nurjaman

02 Januari 2002

PUTIH, KELABU, HITAM

Hei...
Putih, Kelabu, Hitam
Apa  dia masih ada?
Akar-akar tersesat itu masih ada kawan
Siapa itu yang menatap teduh di balik embun sisa pagi tadi?

Hei, Awan…
Putih, Kelabu, Hitam
Apa Kabar di Senja ini?
Penat sesak aku di jalan raya yang menua
Siapa itu penyejuk di balik bola mata senja kala ini?

Hei…
Dia tak Putih, Kelabu ,Hitam
Berwarna merona wajahnya, kawan
Lantas siapakah dia?
Pelangi senja selepas hujan itulah dia kawan.

Kostan Istanaku (Sekeloa Timur), 29 Juni 2010, 04.54 pm

KAU TITIPAN SANG MAHA RAHMAN

Raut wajah itu lugu penuh harapan, kawan.

Garis lengkung senyumannya menjadikan langit tersenyum pada dunia.

Bahkan seorang Muhammad bagian darinya, sebelum Ibundanya pergi dari hingar bingar dunia.

Mata bercahaya ingatkan kita akan sebuah kata ketegaran.

Untaian-untaian harapannya dalam lisan do’a mampu membelah atmosfir dunia.

 “Janganlah kau hardik mereka!” Tuhan berkata dalam surat cintanya kepada manusia.

Ku elus lembut rambutnya dengan ikhlas, Malaikat pun tersenyum menatapnya.

Jangan kau ragu, wahai wajah lugu penuh harapan.

Langkah kecilmu adalah sebagian sejarah peradaban,

Orang terdahulu telah berkata itu, kawan.

Hapuslah sudah airmata sisa sedihmu kemarin, kawan.

Ku tahu luasnya kasih Tuhanku dari mu, kawan.

Ku tahu indahnya dunia ini dari senyummu, kawan.

Ku tahu tegarnya menghadapi dunia dari kepalan rapuh tanganmu, kawan.

Ku tahu itu semua, kawan.

Karena kaulah titipan Sang Maha Rahman.

Karya : Fitrah Nurjaman
Puisi ini didedikasikan untuk Anak Yatim seluruh dunia....

Klimaks

Saat-saat itu,
dimana deru mesin sepeda motor bebek ku tersengau.

Roda-roda motor aku pecut dengan tarikan gas yang memaksa tergesa,
roda belakang seakan ingin mengejar sang roda depan.

Lampu lalu lintas sedang memihak pada ku,
terimaksaih kawan; si lampu merah yang tak menghambat.

Jalur alternatif itu mendadak lancar tak dirundung macet kendaraan yang memiliki keperluan yang lain.

Mentari Sumedang menuntun laju motor bebek butut ku di pagi itu.

Dan jam 7.00 pagi sampailah sudah semua harapan yang ku catat dalam buku diary yang ku titipkan dilemari rak buku ku.

Bandung dan Purwakarta,
sore nanti akan ku kabarkan berita bahagia dari ruangan sidang yudisium jurusan Administrasi Negara ini.

"Fitrah Nurjaman lulus dengan sangat memuaskan...... " []


21 Oktober 2011,
Terimakasih Ya Rabb Alloh SWT, Rasul ku Nabi Muhammad Saw, kepada kedua Orang tua ku, Kakak-kakak ku, Guru-guru ku, Sahabat-sahabat ku, dan semua yang mengenal serta mendo'akan aku.

Setitik Surga di Dunia

Purwakarta, 07 Maret 2012

Kawan, saat ini tepat pukul 14.30 WIB. Aku berada di tempat yang begitu nyaman, tenang, asri, dan tentram. Tak kuasa lidah ini menyebutnya "Setitik Surga di dunia". -Situ Wanayasa- yang begitu bersahaja.

Saya tak terlalu pintar berkata-kata menggambarkannya. Namun akan ku coba menceritakannya kepadamu, kawan. Tentang tempat yang indah rupawan ini.

Aku lihat lingkaran situ ini tak sempurna namun berhiaskan udara yang melambai-lambai memanjakan saluran pernafasanku yang telah berkarat. Begitu menenangkan, kawan.

Aku duduk di antara anak tangga pendopo yang teduh. Tatapan kosong itu pun sirna sudah, yang ada hanyalah tak jemunya bola mata ini menyisirnya. Riak ombak air yang begitu ramai namun tenang. Susunan pohon pinus riuh teduh hiasi daratan kecil ditengah permukaannya.

Garis samar wajah Tangkuban Perahu di rundung kabut, hijau pudar warnanya, kawan. Pantulan sewarna terlihat dari riak ombak halusnya. Ah, sungguh begitu selaras, kawan.

Tak jarang pasangan kekasih yang terpesona olehnya. Bisa ku bayangkan bila libur menyambanginya, pantaslah ramai keberadaannya. Kesahajaan yang takkan pernah usang.

pesona ini akan berkepanjangan, kawan. []

Friday, February 24, 2012

Uzlah ku.

Kota pensiun yang ku pijak ini begitu tak wajar. Lihat saja jam digital kubus dekat -CPU- ku itu terpajang menggerutu. "31,5 c ini tak biasa!" ketusnya.


Debu-debu itu berterbangan dengan lenggangnya. Hujan? Itu hanya cerita lalu.

Matahari begitu sakti dengan bulatan sempurnanya. Ah, tak kuasa mata ini memandangnya!

Bulir-bulir keringat bergelayutan di kening, hidung, bahkan ketiak. Lengket sudah sekujur tubuh.

Tapi....

Anak-anak tangga pendopo itu, suguhkan ketentraman. Coba kau perhatikan itu baik-baik!

Ombak-ombak kecil dari kayuhan pendayung -getek- dengan anggun bergemulai menyentuh dinding-dinding batu pondasi situ.

Jemari ini rasa-rasanya ingin menyentuh riakkannya, agar panas ini tak kembali menampar.

Selepas pulang nanti, kau menjadi telaga dalam benakku.

Monday, February 13, 2012

Dua Lima Lebih Tiga Bulan...?

Semilir udara pagi senin ini masih sama dengan hari sabtu kemarin. 04 Februari 2012, tanggal bersejarah bagi salah satu kakak yang juga sahabat kami. Sabtu pagi itu yang teduh dan penuh kebahagian bagi kami selaku adik-adik kelasnya, menghadiri undangan darinya. Kami tahu kau begitu bahagia, kang. Setiap kami di rangkulnya erat dengan pelukan hangatnya. “Terimakasih, akhi.” Itulah kata-kata yang terlontar darinya dengan senyuman yang tak luntur-luntur setiap kali kami bertutur, “Barakallah, ya Akhi.”

Sahabat yang juga kakak kami ini begitu bahagia di hari itu. Senyum yang sumringah terpajang indah di wajahnya sebagai tanda kebahagiannya yang tak bisa di tutupinya. Dan tak ada salahnya bila sebuah peribahasa -raja sehari- tersandang di pundaknya saat itu.

Kebayoran baru kala itu begitu lapang, tak ada sesak-sesak kendaraan bermotor berjubal sepanjang jalan. Yang kali ini bisa ku bilang seperti jalan terminal simpang di kabupaten asal ku. Sekali lagi kami begitu ikut berbahagia. Lihat saja persiapan kami untuk menghadiri undanganmu, seperti; aku yang telah datang ke Jakarta sehari sebelum acara selepas test lamaran kerja di sebuah bank yang tak jelas kapan akan di panggil lagi, seperti salah satu sahabatku yang datang jauh-jauh dari solo dengan bus antar kotanya yang ngepot, seperti sahabat-sahabat lain dari Bandung dan Majalengka yang berdesak-desakkan memadati satu unit mini bus sewaan yang berkapasitas 10 orang. Terlihat nampak lelah mini bus itu bertengger diparkiran masjid depan gang tempat resepsi. Apalah ini kalau bukan tali ajaib yang telah mengikat kita semua dalam bingkai kekeluargaan.

Saat-saat itu dimana kau menjadi pusat perhatian orang banyak karena begitu menentukan, saat-saat itu jabat tangan mu begitu bergetar terlihat dari sisi mana pun, saat-saat itu kau sempurnakan agama, saat-saat itu begitu menegangkan bagi pria mana pun yang baru melakukannya. -Ijab Qobul- terucap dengan lancar di yang kedua kalinya, Alhamdulilah. Semua yang menyaksikan ada yang menangis terisak-isak karena terharu bahagia, ada yang tersenyum-senyum karena tak sanggup menumpahkan air matanya, dan ada yang meninju-ninju udara di bangku tamu luar tenda dengan berucap tegas tapi pelan, “Allahhu...akbar.”

Sunday, February 12, 2012

SEA Games I comming...!


Animasi by: Fitrah Nurjaman
Berawal dari niat lari-lari kecil di sekeliling bundaran situ buleut, nampak ramai jalur  lingkaran itu. Ahad tepatnya; dimana rasa malas bisa aku bunuh selepas mata ini terobati rasa kantuknya karena secangkir kopi manis kental. 

****

Hop-hop, hop-hop begitu caraku mengatur langkah lari kecil ku agar hemat tenaga tapi tetap eksis berlari. Namun sebelum berlari, ku parkirkan motor bebek andalanku di salah satu rumah saudara. Lengkap dengan; helm kesayangan, dompetku si brangkas buluk, dan SIM serta lengkap dengan STNK (jaga-jaga kalau pak polisi pengen kenalan).  Ku simpan mereka. Jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi berlari (yah, paling 200 meter-lah).

Putaran pertama masih dengan konsistensi kefokusan yang tinggi dan akselerasi yang cukup pasca pemanasan peregangan otot yang kaku. Rampung sudah ku selesaikan dengan catatan waktu kurang lebih 1 menit 13 detik. Celoteh ku dalam pikir, "wah klo gini bisa ikutan seleksi SEA Games nih tahun depan".

Thursday, February 9, 2012

SENJA ITU.... HUFH, HANYA MIMPI!


Senja kala itu mendung; tak nampak seperti biasanya, namun tak nampak juga datang hujan memenuhi undangannya. Ah,gak bakal hujan. Acil menerka-nerka dalam pikirnya sambil memandang langit senja kala itu. Matanya agak sayup karena lelah yang mendahaga dikerongkongannya serta disibukkan bunyi-bunyian yang berasal dari dalam perutnya; mungkin cacing dalam perut berdemo menumpahkan aspirasinya. "Kapan yah suara itu terdengar lagi?", "Sabar Cil, bentaran juga bakal Adzan Maghrib." Emak mencoba menenangkan  gemuruh perut Acil yang meletup-letup. Memang berat ibadah yang ia kerjakan itu, walau masih dalam taraf pembelajaran di se-usia Acil yang baru beranjak enam tahun.

****

15.19 WIB; "Allahu Akbar, Alla.................hu Akbar." Muadzin bersahutan dari mushola-mushola kampung. Kampung yang mempunyai nama singkatan BBC itu. Awal sore itu, tak jarang penghuni kampung yang tersentak bangun mendengar suara adzan Ashar yang merdu tapi tegas, termasuk Acil yang tertidur di dipan ruang tengah rumah. Mereka duga adzan itu sudah masuk waktu maghrib. "Alhamdulillah, Akhirnya Adzan juga." sahut Acil dengan keadaan setengah sadar sambil merapihkan wajah yang agak kacau setiap kali dia bangun dari tidur. Ia bergegas ke meja makan, tempat paling favorit dari bagian rumahnya saat-saat waktu berbuka puasa. "Loh kok belum ada apa-apa, Mak?", "Ya, belum Cil. Kan ini masih Ashar." Emak mengingatkan. "Wah, masih lama dong ya?", "Udah sana pergi Shalat aja, Cil!", bergegaslah Acil mengambil Wudhu selepas Emak mengajaknya Shalat Ashar.

Monday, January 30, 2012

JKT di 18.30-22.0 PM


“Terminal Kampung Rambutan”, begitulah nama tempat tujuan saya tersemat dengan apik di salah satu papan penunjuk arah berwarna dasar hijau itu. Saya rasa inilah Jakarta di 18.30 Pm. Papan itu semakin menghilang dari pelupuk mata ditikungan tajam arah terminal yang dimaksud. Bus antar kota yang saya naiki ini semakin menurunkan kecepatannya disekitar 20 km/jam. Saya yakinkan lagi keberadaan saya ini dalam hati, kini saya disini. Benar kawan saya disini, Jakarta yang amat kalut.
 
Perlahan saya coba turun dari bus dan menginjakkan kaki di kota ini. Sungguh amat tinggi intensitas mobilisasi mereka. Lihat saja di sekeliling saya, kawan. Mereka gemar sekali mengenakan masker yang melekat rapat menutupi setengah wajahnya, membuat sulit untuk menebak ekspresi saat diajak berbicara. Mereka terbiasa dengan antrian panjang saat sore hari di halte busway. Mereka rela menghibur dirinya dengan membenamkan kedua daun telinganya di head phone mereka. Mereka terbiasa berbicara dengan suara yang harus di lantangkan dan itu lumrah kata mereka karena setiap hari disuguhkan oleh; deru mesin mobil, kelakson kendaran, teriakan penjajak koran dan belum lagi nyanyian pengamen yang silih berganti seperti sudah di jadwal dengan rapih penampilan mereka. Ini sungguh tak biasa bagi seorang pemuda kampung yang mengadu nasib di kota sebesar ini.

Saturday, January 21, 2012

2K5 Langkah Awal Yang Bermakna


Saat ini saya masih berada di Bandung dengan segala memorial yang sulit dilupakan. Dimana dulu, awal perintisan jalur-jalur akademik mulai terukir di Ibu kota provinsi ini. Tapi saya tersadarkan dengan selang waktu yang menghentakkan diri ini dan disaat ini, kawan. Mengingatkan akan segala hal yang sudah kita lalui di “kota perjuangan”. Begitulah para aktivis mahasiswa menyebutnya pada lagu “halo-halo bandung” yang diplesetkan itu. 

Begitu haru suasana saat ini sahabat, bahkan langit di Bandung pun mendung dan meneduhkan semua yang ada di dalamnya. Termasuk para supir angkot yang terus bekerja memenuhi setoran pada majikannya, para satpam yang sedang bertugas di Universitas tempatku menempa ilmu, para tukang parkir sepanjang garis bahu jalan di Dipati Ukur yang sibuk meniupkan periwitan dan melambai-lambaikan tangannya mengisyaratkan para supir, dan para muadzin yang mengumandangkan adzannya di masjid-masjid dekat tempat saya indekos.

Hati ini serasa sudah terikat dengan kekeluargaan yang kita bangun. Sejak awal mengenal laga lingkaran mentoring yang menggairahkan sel-sel otak di kepala dan kelapangan hati yang terukir dengan apik di dada ini. Kenangan ini sungguh sulit saya lupakan, kawan.

Monday, January 2, 2012

Perayaan Tahun Baru, "Setan"

31 Desember 2011,

"Salam kesenangan, buat semua yang diperbudak-nya.", sapa setan di penghujung akhir tahun.

Kawanku, malam ini persis dengan malam dimana puasaku dan puasamu berakhir beberapa bulan yang lalu. Namun gema takbir, tahmid, tahlil tak terdengar kali ini. Bahkan mushola-mushola tak seramai malam itu. Kini semua telah tumpah ruah di jalanan. Dimana saat itu hari perayaan kebebasan aku untuk menggoda mu wahai manusia. kembang api saat ini lebih meriah dibanding -malam takbiran- yang katamu itu hari kemenanganmu, kawan. Sebenarnya kau merayakan hari kebebasanku yang aku biaskan menjadi berbeda ceritanya, yaitu hari kemenangan kau berpuasa sebulan penuh. Sekali lagi ini banyak yang tertipu mungkin juga kau. kawan, ujarnya.

Lihat saja bagaimana antusiasnya mereka mempersiapkan untuk menjelang alih tahun ini. 2012 telah datang kawan dan 2011 hanyalah kenangan, maka lupakan saja semua kenangan itu dan kita berpesta semalam suntuk ini untuk kesenangan yang berikutnya. Akan kita penuhi di tahun berikutnya dengan happy, tak usah kau hiraukan urusanmu dengan Tuhan kita, rayunya.

Lagi-Lagi Soal Cinte...: Politik Emang Butuh Cinte...!!!

"Cinta kepada hidup.... memberikan... senyuman abadi, walau hidup kadang tak adil tapi cinta lengkapi kita....... ho.... wo......................" sambil terpejam Eep meresapi lagu yang ia nyanyikan sembari dituntun penyanyi aslinya dari headphone MP3-nya yang terpasang rapat di kedua telinganya malam itu dan tumben syair yang ia nyanyikan benar apa adanya tanpa di rubah tatanan bahasanya ke betawi.

"Woi.... berisik....!!!" koor penghuni kost termasuk aku. Dan Eep pun berbisik sambil meneruskan hobinya yang ia asah diam-diam itu. Aku dekati dia yang masih asik dengan aktivitasnya.

"Ep..., ep.....?" tak di gubris sapa ku olehnya. Ku coba lagi menyapanya dan kali ini dengan volume level 10, "E..ep......"

"Eh..... Iye ade ape?" terpanjat ia sambil membuka headphone-nya.

"Ckckckckck, bener-bener dah ente. Tuh musik ampe bikin telinga ente budek, apa?" Ia pun hanya bisa menjawab dengan senyuman kecil kecutnya.

"Iye, ade ape si? ganggu bener, gak tau kite lagi seneng kali ye?"

"Iiiiidih, die bawaannye jadi sewot...."

tiba-tiba suara keras menyambar di tengah obrolan kami bak petir, "woi berisik...!!!" koor protes penghuni kost yang lain.

Kami berdua hanya bisa saling menatap dengan wajah 'melongo'. "Hihihihi." dan kami susul dengan tawa kecil yang cukup menggelitik ketiak kami.

"Ep, pindah tempat nyok?" ajakku dengan muka geliku.

“Ayo dah. Di mari kurang kondusip." jawabnya dengan logat aslinya.

Teras depan menjadi pilihan paling nyaman buat perbincangan kami yang strata negarawan, klaim kami. Maklumlah Eep adalah seorang pegawai di sebuah perkantoran yang memiliki cita-cita sebagai kepala negara di republik ini. Bahkan saking hebatnya, dia sudah memikirkan strategi politiknya untuk 2 tahun menjelang perhelatan akbar yang akan diselenggarakan dan amat di nanti-nantikan oleh bangsa ini setiap 5 tahun sekali itu. Sedangkan aku adalah si bujang yang berprofesi sebagai mahasiswa semester akhir dengan impian-impian yang masih mengendap dalam benak, namun salah satunya yang telah mencuat adalah menjadi pesaing berat bagi Eep untuk berlaga di pemilu berikutnya. Ya, ini-lah dunia politik kami yang cukup harmonis dan saling menghargai. Aneh memang.