Wednesday, March 14, 2012

Acil "BBC" Namaku


Tak ada yang berbeda, bahkan tak ada yang istimewa dari sebuah kampung di kilometer sembilan jalan Terusan Kapten Halim itu. Jalan raya melintang di depannya masih tetap sama dengan jalan raya kebanyakan. Hamparan sawah menghijau terhampar luas mengelilingi permukimannya. Riuh redah permukimannya terbelah oleh jalur utama yang tersusun dari batu sungai tanpa aspal hasil kerja bakti penduduknya. Mushola-mushola disana sebagai pusat tempat peribadatan, tak ubahnya  seperti kampung mana pun di tanah Pasundan lainnya. Dua garis sungai yang membentang melewati permukiman masih tetap sama; sebagai tempat mencuci bagi para ibu, tempat berkubangnya kerbau-kerbau peliharaan jika terik mentari tak mau berkompromi dengan kuit hitamnya, dan tempat favorit bagi anak-anak bermain dan guyang (renang) pagi atau sore harinya.

Namun hanya satu yang berbeda. Gapura yang setia dengan atap gentingnnya, yang tetap istimewa penuh keramahan bagi siapa saja yang menyambanginya. Plang gang berwarna dasar biru terpancang kokoh dekat gapura walau tulisannya tak terbaca dengan jelas, cat putih-nya telah rontok oleh karat. Kira-kira terbaca –Gg. Babakan Caringin RW 05- yang bagi rabun jauh pasti akan terkilir membacanya.

Kampung yang disebut ‘gang’ oleh plang depan gapuranya ini, tak ubahnya sebuah kampung kebanyakan. Pepohonan begitu subur tumbuh di setiap halaman rumah penghuninya. Pohon rambutan begitu mendominasi menghiasi halaman-halaman rumah disana. Termasuk disebuah rumah panggung tua berwarna merah lusuh dengan halaman yang cukup luas. 

Di ruang belakang rumah itu terdapat sebuah meja makan yang lengkap dengan kursi buatan tahun 1983-nya. Terlihat seorang anak usia enam tahun duduk di salah satu kursinya, sambil memakan lahap hidangan yang tersaji. Tempe goreng, semur ikan bandeng, sambel goang (Sambel yang terbuat hanya dari cabai rawit, garam, dan kencur), mentimun dan lalaban daun singkong rebus. Em, semuanya nampak menggugah selera.

Rambut yang selalu klimis dengan model belahan kanan menyampingnya telah tersusun rapih menyongsong ahad pagi. Langkah kecilnya selalu tak diketahui perginya kemana oleh sang bunda yang sering di panggil -Emak- olehnya. "Eta geura tos makan teh, teu kanyahoan leos na?" begitu keluh Emak setiap kali mendapati putra bungsunya telah luput dari hadapannya. Bahkan pernah suatu waktu di dapati anak ini sudah berpakaian dengan penuh lumpur di sekujur tubuhnya, hanya lingkaran mata dan senyum cengengesannya yang terlihat oleh Emak. Usut punya usut sang putra bungsu telah bermain di sawah Pak Lurah. “Atuh Emak da hoyong mantuan ngabajak abdi, mah.” Jelas putranya mengutarakan alasan polosnya. Emak hanya bisa mendo’akan putra bungsunya ini agar jadi anak yang shaleh selepas mendengarkan alasannya sambil mengelus dada.

Wednesday, March 7, 2012

Lidah tuh tak bertulang, tapi tajam seperti pedang?


Sahabat-sahabat, terkadang kita agak selalu meremehkan sebelah mata mengenai bab penjagaan lidah. Padahal Rasul kita Nabi Muhammad Saw berpesan, bahwasannya kita selaku muslim orang yang beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya di anjurkan menjaga lidah dan akhlak. Karena telah di jelaskan bahwasannya apa yang kita utarakan bila gibah, maka kita selayaknya seperti memakan bangkai saudara kita sendiri (Qs. Al-Hujarrat:12)

Apa yang terjadi sekarang? Fenomena program televisi begitu memfasilitasi kita untuk mengasah kemampuan gibah kita agar 'si gibah' lebih berkualitas, Astagfirullah Aladzim. Perang pemikiran sudah terjadi, sahabat. Walau kita terasa di ninabobokan dengan situasi lingkungan yang ada. Kata mereka, "kan sekarang segala informasi sudah tidak ada batas" tuntutan globalisasi katanya.

Apa jadinya bila kita menjadi seperti lupa akan mana yang hak untuk di bicarakan dengan mana yang gibah atau gosip bahasa keren sekarang. amnesiakah kita??? Artis-artis sekarang merubah trend dengan pembahasan barunya, "perceraian jadi musiman???" Sungguh aneh saat ini! Pada hal salah satu urusan yang di benci Alloh adalah ini.

Ada sebuah ungkapan "lidah tak bertulang namun tajamnya seperti pedang". Menurut saya itu benar adanya bila penjagaan tak dilakukan, salah satunya dengan sahum atau puasa. tapi lidah pun bisa menjadi lembut dan bermanfaat. Misalnya menghalalkan yang tadinya haram, contoh kongkretnya; ijab qabul suatu pernikahan. Dan banyak hal yang lainnya seperti menasehati dan lainnya.

Mungkin ini menjadi sebuah renungan bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umunya.

Wallahualam bisawab.....


Saturday, August 1, 2009 at 12:25pm

Ada Apa Pagi Ini ???

Kini Malam Bercerita tentang tenangnya

Ketika Pagi Buta Semua Sibuk Bangunkan Sang Pengkantuk

Puluhan Benih Bangsa Kehausan Ilmu Pagi ini

Ada Apa Pagi Ini ???

Kemana sang Pengajar ???

Pulang Sajakah Aku Tak Peduli

Seakan Urungkan Niat Tuk Ubah Yang Salah

Tapi Itu Bukan Sebuah Jawaban

Maka Hadapi Saja Semua Dengan Ilmu Yang Ada

Walau Sederhana.


Karya : Fitrah Nurjaman

02 Januari 2002

PUTIH, KELABU, HITAM

Hei...
Putih, Kelabu, Hitam
Apa  dia masih ada?
Akar-akar tersesat itu masih ada kawan
Siapa itu yang menatap teduh di balik embun sisa pagi tadi?

Hei, Awan…
Putih, Kelabu, Hitam
Apa Kabar di Senja ini?
Penat sesak aku di jalan raya yang menua
Siapa itu penyejuk di balik bola mata senja kala ini?

Hei…
Dia tak Putih, Kelabu ,Hitam
Berwarna merona wajahnya, kawan
Lantas siapakah dia?
Pelangi senja selepas hujan itulah dia kawan.

Kostan Istanaku (Sekeloa Timur), 29 Juni 2010, 04.54 pm

KAU TITIPAN SANG MAHA RAHMAN

Raut wajah itu lugu penuh harapan, kawan.

Garis lengkung senyumannya menjadikan langit tersenyum pada dunia.

Bahkan seorang Muhammad bagian darinya, sebelum Ibundanya pergi dari hingar bingar dunia.

Mata bercahaya ingatkan kita akan sebuah kata ketegaran.

Untaian-untaian harapannya dalam lisan do’a mampu membelah atmosfir dunia.

 “Janganlah kau hardik mereka!” Tuhan berkata dalam surat cintanya kepada manusia.

Ku elus lembut rambutnya dengan ikhlas, Malaikat pun tersenyum menatapnya.

Jangan kau ragu, wahai wajah lugu penuh harapan.

Langkah kecilmu adalah sebagian sejarah peradaban,

Orang terdahulu telah berkata itu, kawan.

Hapuslah sudah airmata sisa sedihmu kemarin, kawan.

Ku tahu luasnya kasih Tuhanku dari mu, kawan.

Ku tahu indahnya dunia ini dari senyummu, kawan.

Ku tahu tegarnya menghadapi dunia dari kepalan rapuh tanganmu, kawan.

Ku tahu itu semua, kawan.

Karena kaulah titipan Sang Maha Rahman.

Karya : Fitrah Nurjaman
Puisi ini didedikasikan untuk Anak Yatim seluruh dunia....

Klimaks

Saat-saat itu,
dimana deru mesin sepeda motor bebek ku tersengau.

Roda-roda motor aku pecut dengan tarikan gas yang memaksa tergesa,
roda belakang seakan ingin mengejar sang roda depan.

Lampu lalu lintas sedang memihak pada ku,
terimaksaih kawan; si lampu merah yang tak menghambat.

Jalur alternatif itu mendadak lancar tak dirundung macet kendaraan yang memiliki keperluan yang lain.

Mentari Sumedang menuntun laju motor bebek butut ku di pagi itu.

Dan jam 7.00 pagi sampailah sudah semua harapan yang ku catat dalam buku diary yang ku titipkan dilemari rak buku ku.

Bandung dan Purwakarta,
sore nanti akan ku kabarkan berita bahagia dari ruangan sidang yudisium jurusan Administrasi Negara ini.

"Fitrah Nurjaman lulus dengan sangat memuaskan...... " []


21 Oktober 2011,
Terimakasih Ya Rabb Alloh SWT, Rasul ku Nabi Muhammad Saw, kepada kedua Orang tua ku, Kakak-kakak ku, Guru-guru ku, Sahabat-sahabat ku, dan semua yang mengenal serta mendo'akan aku.

Setitik Surga di Dunia

Purwakarta, 07 Maret 2012

Kawan, saat ini tepat pukul 14.30 WIB. Aku berada di tempat yang begitu nyaman, tenang, asri, dan tentram. Tak kuasa lidah ini menyebutnya "Setitik Surga di dunia". -Situ Wanayasa- yang begitu bersahaja.

Saya tak terlalu pintar berkata-kata menggambarkannya. Namun akan ku coba menceritakannya kepadamu, kawan. Tentang tempat yang indah rupawan ini.

Aku lihat lingkaran situ ini tak sempurna namun berhiaskan udara yang melambai-lambai memanjakan saluran pernafasanku yang telah berkarat. Begitu menenangkan, kawan.

Aku duduk di antara anak tangga pendopo yang teduh. Tatapan kosong itu pun sirna sudah, yang ada hanyalah tak jemunya bola mata ini menyisirnya. Riak ombak air yang begitu ramai namun tenang. Susunan pohon pinus riuh teduh hiasi daratan kecil ditengah permukaannya.

Garis samar wajah Tangkuban Perahu di rundung kabut, hijau pudar warnanya, kawan. Pantulan sewarna terlihat dari riak ombak halusnya. Ah, sungguh begitu selaras, kawan.

Tak jarang pasangan kekasih yang terpesona olehnya. Bisa ku bayangkan bila libur menyambanginya, pantaslah ramai keberadaannya. Kesahajaan yang takkan pernah usang.

pesona ini akan berkepanjangan, kawan. []