Tak
ada yang berbeda, bahkan tak ada yang istimewa dari sebuah kampung di kilometer
sembilan jalan Terusan Kapten Halim itu. Jalan raya melintang di depannya masih
tetap sama dengan jalan raya kebanyakan. Hamparan sawah menghijau terhampar
luas mengelilingi permukimannya. Riuh redah permukimannya terbelah oleh jalur
utama yang tersusun dari batu sungai tanpa aspal hasil kerja bakti penduduknya.
Mushola-mushola disana sebagai pusat tempat peribadatan, tak ubahnya seperti kampung mana pun di tanah Pasundan lainnya.
Dua garis sungai yang membentang melewati permukiman masih tetap sama;
sebagai tempat mencuci bagi para ibu, tempat berkubangnya kerbau-kerbau peliharaan
jika terik mentari tak mau berkompromi dengan kuit hitamnya, dan tempat favorit
bagi anak-anak bermain dan guyang (renang)
pagi atau sore harinya.
Namun
hanya satu yang berbeda. Gapura yang setia dengan atap gentingnnya, yang tetap
istimewa penuh keramahan bagi siapa saja yang menyambanginya. Plang gang
berwarna dasar biru terpancang kokoh dekat gapura walau tulisannya tak terbaca
dengan jelas, cat putih-nya telah rontok oleh karat. Kira-kira terbaca –Gg.
Babakan Caringin RW 05- yang bagi rabun jauh pasti akan terkilir membacanya.
Kampung
yang disebut ‘gang’ oleh plang depan gapuranya ini, tak ubahnya sebuah kampung
kebanyakan. Pepohonan begitu subur tumbuh di setiap halaman rumah penghuninya.
Pohon rambutan begitu mendominasi menghiasi halaman-halaman rumah disana.
Termasuk disebuah rumah panggung tua berwarna merah lusuh dengan halaman yang
cukup luas.
Di
ruang belakang rumah itu terdapat sebuah meja makan yang lengkap dengan kursi
buatan tahun 1983-nya. Terlihat seorang anak usia enam tahun duduk di salah
satu kursinya, sambil memakan lahap hidangan yang tersaji. Tempe goreng, semur
ikan bandeng, sambel goang (Sambel
yang terbuat hanya dari cabai rawit, garam, dan kencur), mentimun dan lalaban
daun singkong rebus. Em, semuanya nampak menggugah selera.
Rambut
yang selalu klimis dengan model belahan kanan menyampingnya telah tersusun
rapih menyongsong ahad pagi. Langkah kecilnya selalu tak diketahui perginya
kemana oleh sang bunda yang sering di panggil -Emak- olehnya. "Eta geura tos makan teh, teu kanyahoan leos
na?" begitu keluh Emak setiap kali mendapati putra bungsunya telah
luput dari hadapannya. Bahkan pernah suatu waktu di dapati anak ini sudah
berpakaian dengan penuh lumpur di sekujur tubuhnya, hanya lingkaran mata dan
senyum cengengesannya yang terlihat oleh Emak. Usut punya usut sang putra
bungsu telah bermain di sawah Pak Lurah. “Atuh
Emak da hoyong mantuan ngabajak abdi, mah.” Jelas putranya mengutarakan
alasan polosnya. Emak hanya bisa mendo’akan putra bungsunya ini agar jadi anak
yang shaleh selepas mendengarkan alasannya sambil mengelus dada.