Sunday, October 28, 2012

Sebungkus Kacang Kulit Mengupas Sejarah

Di Hari Tasyrik ini, saya sedang berduduk-duduk santai di Warung Mas Dedi sambil berbincang-bincang ringan dengan beberapa kawan sambil ditemani secangkir teh manis hangat dan satu bungkus kacang kulit. Tepat didepan warung melintang jalan raya yang bernama jalan Terusan Kapten Halim - Pondoksalam. Jalan yang kami pikir tak ada kisah penting di dalamnya. Jalan yang menghubungkan 3 (tiga) kecamatan ini begitu biasa pada umumnya. "Tapi ieu jalan teh boga andil euy dina jaman perjuangan baheula!" ujar Biho seorang kawan.

Saya terasa tergelitik ingin mengetahui sejarah lebih jauh tentang jalan yang ada di depan kami ini. Bila berdiskusi dengan kawan-kawan di hadapan saya seperti Biho, Urip, Daday mereka mempunyai argumentasi sejarah versi masing-masing. Ada yang bilang soal penamaan ini berasal karena untuk mengenang perjuangan Kapten Halim pada masanya, ada juga yang bilang biar match dengan tugu yang terpancang kokoh di daerah Lanca Darah. Apapun opini mereka mungkin secara rangakaian ini ada hubungannya; nama jalan, tugu, dan pejuang yang bernama Kapten Halim.

Pernah saya coba untuk mencari tahu dengan bertanya ke Mbah Google, dan hasilnya nihil sudah. Untuk mengetahui sosok sang kapten yang berjasa ini dijawabnya hanyalah sekedar nama jalan saja. Rupa-rupanya Mbah Google kehilangan kesaktiannya kali ini. Saya putuskan menemui salah satu sesepuh di daerah Pondoksalam, KH. Mahfudin. Beliau mengutarakan Jalan Kapten Halim ini merupakan cara untuk mengenang jasa sang Kapten dengan mengabadikan namanya sebagai nama jalan. Sebab perjuangan beliau dan pasukan menghalau penjajah Belanda yang luar biasa pada masanya itu pada tahun 1920-an, yaitu bagaimana Sang Kapten berhasil meledakkan tiga truk yang sedang mengangkut bala tentara kolonial di daerah Lanca Darah yang merupakan tempat terakhirnya berjuang. Beliau menjegal para bala pasukan kolonial dengan menggunakan kabel listrik yang di pancangkan di kedua sisinya ke pohon sebagai perangkap. kemudian menyergapnya dari sisi-sisi jurang dan tebing.

Tuesday, October 9, 2012

Prahara Gang Ujung Kampung dan Ajun Rombeng 3

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh, Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh." ucap Haji Sanip yang di ikuti koor para jama'ah dibelakangnya termasuk Ajun.

Semiliri angin subuh sesekali menggoyangkan dedaunan pohon pisang yang tumbuh liar disamping mushola. "Al-Ikhlas" nama dari sebuah mushola yang kini mulai ramai didatangi warga sekitar dan itu termasuk Ajun pemuda urakkan yang semaunya bila berpenampilan. Di Subuh itu Mushola ini seolah tersenyum pada Ajun. Ajun pun dengan hati yang sedikit tenang merasakan keramahan ruangan kubus 4x4 ini.

"Jun, rajin lu sekarang?" tanya salah seorang jama'ah yang juga sepantaran dengannya, Sahili. Ajun menjawabnya dengan anggukkan dan senyumannya yang khas. Jama'ah yang lain pun bergegas pulang ke rumah masing-masing selepas shalat berjama'ah.

"Nah, Jun gimane sekarang perasaan lu?" Haji Sarip bertanya sambil duduk bersila dihadapan  Ajun.
"Iye, Ji. Ane tenangan gak kayak malem tadi, ni ati kayeknye panas bener semalem...." jawab Ajun sambil membenarkan duduk dan tentunya senyuman gigi kuning langsatnya menghiasi wajahnya yang kurus.