“Terminal Kampung Rambutan”,
begitulah nama tempat tujuan saya tersemat dengan apik di salah satu papan
penunjuk arah berwarna dasar hijau itu. Saya rasa inilah Jakarta di 18.30 Pm.
Papan itu semakin menghilang dari pelupuk mata ditikungan tajam arah terminal
yang dimaksud. Bus antar kota yang saya naiki ini semakin menurunkan
kecepatannya disekitar 20 km/jam. Saya yakinkan lagi keberadaan saya ini dalam
hati, kini saya disini. Benar kawan saya
disini, Jakarta yang amat kalut.
Perlahan saya coba turun dari bus
dan menginjakkan kaki di kota ini. Sungguh amat tinggi intensitas mobilisasi
mereka. Lihat saja di sekeliling saya, kawan. Mereka gemar sekali mengenakan
masker yang melekat rapat menutupi setengah wajahnya, membuat sulit untuk
menebak ekspresi saat diajak berbicara. Mereka terbiasa dengan antrian panjang saat
sore hari di halte busway. Mereka rela menghibur dirinya dengan membenamkan
kedua daun telinganya di head phone
mereka. Mereka terbiasa berbicara dengan suara yang harus di lantangkan dan itu
lumrah kata mereka karena setiap hari disuguhkan oleh; deru mesin mobil,
kelakson kendaran, teriakan penjajak koran dan belum lagi nyanyian pengamen
yang silih berganti seperti sudah di jadwal dengan rapih penampilan mereka. Ini
sungguh tak biasa bagi seorang pemuda kampung yang mengadu nasib di kota
sebesar ini.