Monday, January 30, 2012

JKT di 18.30-22.0 PM


“Terminal Kampung Rambutan”, begitulah nama tempat tujuan saya tersemat dengan apik di salah satu papan penunjuk arah berwarna dasar hijau itu. Saya rasa inilah Jakarta di 18.30 Pm. Papan itu semakin menghilang dari pelupuk mata ditikungan tajam arah terminal yang dimaksud. Bus antar kota yang saya naiki ini semakin menurunkan kecepatannya disekitar 20 km/jam. Saya yakinkan lagi keberadaan saya ini dalam hati, kini saya disini. Benar kawan saya disini, Jakarta yang amat kalut.
 
Perlahan saya coba turun dari bus dan menginjakkan kaki di kota ini. Sungguh amat tinggi intensitas mobilisasi mereka. Lihat saja di sekeliling saya, kawan. Mereka gemar sekali mengenakan masker yang melekat rapat menutupi setengah wajahnya, membuat sulit untuk menebak ekspresi saat diajak berbicara. Mereka terbiasa dengan antrian panjang saat sore hari di halte busway. Mereka rela menghibur dirinya dengan membenamkan kedua daun telinganya di head phone mereka. Mereka terbiasa berbicara dengan suara yang harus di lantangkan dan itu lumrah kata mereka karena setiap hari disuguhkan oleh; deru mesin mobil, kelakson kendaran, teriakan penjajak koran dan belum lagi nyanyian pengamen yang silih berganti seperti sudah di jadwal dengan rapih penampilan mereka. Ini sungguh tak biasa bagi seorang pemuda kampung yang mengadu nasib di kota sebesar ini.

Saturday, January 21, 2012

2K5 Langkah Awal Yang Bermakna


Saat ini saya masih berada di Bandung dengan segala memorial yang sulit dilupakan. Dimana dulu, awal perintisan jalur-jalur akademik mulai terukir di Ibu kota provinsi ini. Tapi saya tersadarkan dengan selang waktu yang menghentakkan diri ini dan disaat ini, kawan. Mengingatkan akan segala hal yang sudah kita lalui di “kota perjuangan”. Begitulah para aktivis mahasiswa menyebutnya pada lagu “halo-halo bandung” yang diplesetkan itu. 

Begitu haru suasana saat ini sahabat, bahkan langit di Bandung pun mendung dan meneduhkan semua yang ada di dalamnya. Termasuk para supir angkot yang terus bekerja memenuhi setoran pada majikannya, para satpam yang sedang bertugas di Universitas tempatku menempa ilmu, para tukang parkir sepanjang garis bahu jalan di Dipati Ukur yang sibuk meniupkan periwitan dan melambai-lambaikan tangannya mengisyaratkan para supir, dan para muadzin yang mengumandangkan adzannya di masjid-masjid dekat tempat saya indekos.

Hati ini serasa sudah terikat dengan kekeluargaan yang kita bangun. Sejak awal mengenal laga lingkaran mentoring yang menggairahkan sel-sel otak di kepala dan kelapangan hati yang terukir dengan apik di dada ini. Kenangan ini sungguh sulit saya lupakan, kawan.

Monday, January 2, 2012

Perayaan Tahun Baru, "Setan"

31 Desember 2011,

"Salam kesenangan, buat semua yang diperbudak-nya.", sapa setan di penghujung akhir tahun.

Kawanku, malam ini persis dengan malam dimana puasaku dan puasamu berakhir beberapa bulan yang lalu. Namun gema takbir, tahmid, tahlil tak terdengar kali ini. Bahkan mushola-mushola tak seramai malam itu. Kini semua telah tumpah ruah di jalanan. Dimana saat itu hari perayaan kebebasan aku untuk menggoda mu wahai manusia. kembang api saat ini lebih meriah dibanding -malam takbiran- yang katamu itu hari kemenanganmu, kawan. Sebenarnya kau merayakan hari kebebasanku yang aku biaskan menjadi berbeda ceritanya, yaitu hari kemenangan kau berpuasa sebulan penuh. Sekali lagi ini banyak yang tertipu mungkin juga kau. kawan, ujarnya.

Lihat saja bagaimana antusiasnya mereka mempersiapkan untuk menjelang alih tahun ini. 2012 telah datang kawan dan 2011 hanyalah kenangan, maka lupakan saja semua kenangan itu dan kita berpesta semalam suntuk ini untuk kesenangan yang berikutnya. Akan kita penuhi di tahun berikutnya dengan happy, tak usah kau hiraukan urusanmu dengan Tuhan kita, rayunya.

Lagi-Lagi Soal Cinte...: Politik Emang Butuh Cinte...!!!

"Cinta kepada hidup.... memberikan... senyuman abadi, walau hidup kadang tak adil tapi cinta lengkapi kita....... ho.... wo......................" sambil terpejam Eep meresapi lagu yang ia nyanyikan sembari dituntun penyanyi aslinya dari headphone MP3-nya yang terpasang rapat di kedua telinganya malam itu dan tumben syair yang ia nyanyikan benar apa adanya tanpa di rubah tatanan bahasanya ke betawi.

"Woi.... berisik....!!!" koor penghuni kost termasuk aku. Dan Eep pun berbisik sambil meneruskan hobinya yang ia asah diam-diam itu. Aku dekati dia yang masih asik dengan aktivitasnya.

"Ep..., ep.....?" tak di gubris sapa ku olehnya. Ku coba lagi menyapanya dan kali ini dengan volume level 10, "E..ep......"

"Eh..... Iye ade ape?" terpanjat ia sambil membuka headphone-nya.

"Ckckckckck, bener-bener dah ente. Tuh musik ampe bikin telinga ente budek, apa?" Ia pun hanya bisa menjawab dengan senyuman kecil kecutnya.

"Iye, ade ape si? ganggu bener, gak tau kite lagi seneng kali ye?"

"Iiiiidih, die bawaannye jadi sewot...."

tiba-tiba suara keras menyambar di tengah obrolan kami bak petir, "woi berisik...!!!" koor protes penghuni kost yang lain.

Kami berdua hanya bisa saling menatap dengan wajah 'melongo'. "Hihihihi." dan kami susul dengan tawa kecil yang cukup menggelitik ketiak kami.

"Ep, pindah tempat nyok?" ajakku dengan muka geliku.

“Ayo dah. Di mari kurang kondusip." jawabnya dengan logat aslinya.

Teras depan menjadi pilihan paling nyaman buat perbincangan kami yang strata negarawan, klaim kami. Maklumlah Eep adalah seorang pegawai di sebuah perkantoran yang memiliki cita-cita sebagai kepala negara di republik ini. Bahkan saking hebatnya, dia sudah memikirkan strategi politiknya untuk 2 tahun menjelang perhelatan akbar yang akan diselenggarakan dan amat di nanti-nantikan oleh bangsa ini setiap 5 tahun sekali itu. Sedangkan aku adalah si bujang yang berprofesi sebagai mahasiswa semester akhir dengan impian-impian yang masih mengendap dalam benak, namun salah satunya yang telah mencuat adalah menjadi pesaing berat bagi Eep untuk berlaga di pemilu berikutnya. Ya, ini-lah dunia politik kami yang cukup harmonis dan saling menghargai. Aneh memang.