“Terminal Kampung Rambutan”,
begitulah nama tempat tujuan saya tersemat dengan apik di salah satu papan
penunjuk arah berwarna dasar hijau itu. Saya rasa inilah Jakarta di 18.30 Pm.
Papan itu semakin menghilang dari pelupuk mata ditikungan tajam arah terminal
yang dimaksud. Bus antar kota yang saya naiki ini semakin menurunkan
kecepatannya disekitar 20 km/jam. Saya yakinkan lagi keberadaan saya ini dalam
hati, kini saya disini. Benar kawan saya
disini, Jakarta yang amat kalut.
Perlahan saya coba turun dari bus
dan menginjakkan kaki di kota ini. Sungguh amat tinggi intensitas mobilisasi
mereka. Lihat saja di sekeliling saya, kawan. Mereka gemar sekali mengenakan
masker yang melekat rapat menutupi setengah wajahnya, membuat sulit untuk
menebak ekspresi saat diajak berbicara. Mereka terbiasa dengan antrian panjang saat
sore hari di halte busway. Mereka rela menghibur dirinya dengan membenamkan
kedua daun telinganya di head phone
mereka. Mereka terbiasa berbicara dengan suara yang harus di lantangkan dan itu
lumrah kata mereka karena setiap hari disuguhkan oleh; deru mesin mobil,
kelakson kendaran, teriakan penjajak koran dan belum lagi nyanyian pengamen
yang silih berganti seperti sudah di jadwal dengan rapih penampilan mereka. Ini
sungguh tak biasa bagi seorang pemuda kampung yang mengadu nasib di kota
sebesar ini.
Telpon genggam sudah menjerit
beberapa kali yang tak sempat terangkat karena deru mesin bus lebih
mendominasi. Rupa-rupanya dari sahabat saya yang tinggal disini mencemaskan kondisi
pelancong ini yang sedikit meraba-raba arah jalan menuju ke kosannya. Saya mencoba
menenangkannya dengan me-sms-nya, “Salam, Sob saya sudah sampai di Rambutan.” Tanpa
harus menunggu sms balasannya saya langsung bergegas menuju Bus patas arah Rawamangun Jakarta Timur selepas menunaikan shalat Maghrib.
Selang tiga puluh menit, akhirnya
sampai didepan halte busway Sunan Giri. Saya transit tepat didepan salah satu
toko baju busana muslim. “Ana dah sampai di Rabb*** nih.”, Kabar ku kirim via
sms. Sms balasan darinya saya terima lima menit kemudia, “Ok, ana kesana.
Tunggu sebentar yah? ana masih di jalan dari ITC.”
Sebotol minuman softdrink sudah habis kering kerontang
di lima belas menit penantian. Apalah yang bisa dilakukan bagi seorang perantau
yang buta arah ini. Maka terdiam membatu dengan mencoba terlihat santai di mata
para pejalan kaki lain. Duduk-duduk di pembatas pagar
yang rendah sedengkul orang dewasa di depan toko itu, sambil
menurunkan tensi kepanikan yang merongrong di benak; Salah tempatlah, bukan halte ini tempat berhentinya, bukan sunan
giri tapi sunan gunung jati nama lokasinya, bla-bla dan bla-bla. Tumpah ruah semua prasangka buruk. Ada seorang tukang
ojeg yang perangainya lebih cocok sebagai pereman seperti melihati. Semakin
menjadi-jadi saja semua prasangaka tadi ke arah kriminal.
“wush........ wush...........”
Angin kencang menyapu bahu-bahu jalan termasuk -si perantau buta arah-
ini. Kemudian di susul hujan besar yang mengancam dengan kilat-kilat petirnya.
Di tengah gelapnya malam dan hujan deras muncul sesosok yang sepertinya saya
kenal dari bus metromini nomor 3 itu. Nampaknya ia menuju tempat saya berteduh. “Akhirnya
sampai juga ente, Fit?” tanya dia. “Iya, ana udah di Jakarta, sob.” jawab saya.
Tanpa berlama-lama berteduh
karena hujan telah reda, walau gemercik rintik hujan menghiasi langkah kami
menuju kosan. Dan sesampai dikamar 4x3 m-nya, saya hanya bisa terdampar di pulau kecil nyaman yang
orang-orang bilang itu kasur. Saya lewati malam dengan tidur pulas tuk
mengobati lelah yang meradang ke
ubun-ubun, tentunya setelah melaksanakan shalat Isya di 22.00 Pm. “Selamat
tidur, kawan....”[]
Jakarta, 13 Januari 2012
Jakarta, 13 Januari 2012
0 Opini Pembaca:
Post a Comment
Komentar dan Opini Anda sangat membangun dalam pengembangan blog ini. Terimakasih atas partisipasinya.