Friday, October 25, 2013

Aku Trianti


Selepas adzan berkumandang dan shalat Isya didirikan, entah angin apa yang membuat telepon genggamku menjerit rewel ingin diperhatikan. Saat itu aku sedang berurusan dengan komputer jinjingku demi menyelesaikan sesuatu hal yang sudah aku janjikan empat tahun lalu, walau kini sudah di ambang lima tahunnya. Mata minusku kini masih sibuk dengan ribuan kata yang terpampang di layar mesin ketik abad dua puluhan ini. Ribuan kata yang telah aku kerjakan tiga bulan kemarin rupa-rupanya masih belum mendapat satu kata yang menghantarkan aku keurusan berikutnya.

Telepon genggam itu tak aku gugu pinta omelannya. Saat ini aku harus fokus dengan komputer jinjingku. Segelas cangkir teh manis hangat selalu setia menemani, walau terkadang ia mulai menjadi pahit dan dingin di ujung penantiannya. Aku tahu gula pasir sedang menjadi barang langka di kamar indekosku. Entah langka atau apa? Yang jelas, aku terasa sudah mulai tak sanggup membelinya. Uang saku bulanan sudah habis untuk biaya tambahan membeli tinta dan kertas. Tapi apa boleh buat air panas seduhan sudah terlanjur teracik, namun organ mulut ini hanya sempat menyasapnya tiga kali saja. Atau jika kurang manis aku campurkan saja tinta sebagai pengganti pemanis? Karena tinta dibeli berasal dari biaya belanja gula pasir yang manis itu.

Nada jeritan rewel telepon genggamku sudah beberapa menit terdengar nyaring. Senyap. Nyaring lagi. Hening kembali.