Wednesday, June 27, 2012

Prahara Gang Ujung Kampung dan Ajun Rombeng 1


Gang Haji Sanip, sebuah gang pojokkan ujung jalan di kampung kami. Gang yang nyempil diujung jalan buntu sana tak akan ramai bila tak ada -Ajun Rombeng-, sang pemuda kampung pengangguran tamatan sekolah menengah kejuruan. Ajun di kenal sebagai orang yang periang, supel, dan murah senyum atau lebih tepatnya bisa disebut doyan nyengir. Tak jarang gigi kuning langsat pengaruh kerak tembakau berkilat-kilat hiasi senyum lebarnya. Tapi terkadang Ajun Bengal juga. Bila berjalan, celana jeansnya terseret-seret kedodoran. Maklum celana ini adalah gacoan-nya. "Celana rombeng tapi keren!” tembalnya bila ada yang mengolok-olok celana kesayangannya.

Saking cintanya Ajun dengan celana kumelnya, dia jarang ganti kecuali bila Emaknya yang nyuruh. Pernah tempo hari, itu celana udah terkapar di ember cucian Emak. Ajun dengan diam-diam mengambilnya tanpa ada yang tahu kecuali Tuhannya dan dia. Untung aje keselametin, bisa mati gaye gue klo di cuci, gumamnya sambil meninggalkan kamar mandi belakang. Mending pake sarung dah! dari pada pakai celana yang laen, tambahnya.

Thursday, June 14, 2012

Lagi-lagi soal Cinte: Jalan-Jalan dan Obrolan SMS

"Sob, besok Ahad beres subuh kita jalan nyok?" ajak Eep sesampainya ia di kosan selepas pulang kerja.

"Kagak Dah, Ane mau nyuci dulu besok." jawabku sembari rebahan di atas –humairoh-, kasur terempuk pelepas lelah. 

Tumben Eep tak langsung menembal jawaban ku yang mengecewakannya. “Ayolah, fit!”, “Sok, sibuk bener, luh!”, “Kagak Solder lu!” (maksudnya Eep; solider atau Sohib) biasanya ia mendesak dengan senjatanya itu. Ia malah terheran-heran melihat kamar kosan 2,5 x 3 meter tempatku berada. Matanya terbelalak menyisir kamar dari kanan ke kiri dan ia ulangi hingga beberapa kali, hingga ia yakin ini kamar sobat tempat curhatnya. Tumpukkan buku-buku fiksi tertata rapi di rak-nya, meja rendah menompang PC plus dengan monitor tabung serta keyboard usang berwarna hitam mengkilap, lemari baju berukuran badan Eep yang berpintu dua bertengger dipojokkan kanan dekat meja rendah tadi, humairoh melintang ke Barat dipojokkan kiri ruangan lurus dengan kiblat shalat, dan karpet karet blok warna warni tertata selaras menjadi alas humairoh.

“Wes, tumben rapih bener ni kamar. Kesambet ape Luh, Fit?” komentar Eep menyindir.

“Ape sih, ente, Ep? Yah, boleh dong sekali-kali ni kamar rapihan dikit.” Eep hanya mengacungkan jempolnya sambil tersenyum bangga padaku.

“Gimane ni soal besok?” Eep memulai genderang perang.

“Waduh sorry dulu, dah. Ane kagak ikut ya?”

“Ayolah, Fit!” Eep sudah mengangkat senjata dengan letusan peluru desakkan pertamanya.

“Beneran dah, klo kagak ada ni cucian seminggu, ane ikut dah.” argumenku bersiaga.

“Sok, Sibuk bener, luh!” Eep menembak peluru desakkan keduanya tepat mengenai dahi.

“Waduh bener dah, Ane kagak ikut yeh?” tanyaku melobinya.

“Wah, kagak solder dah luh!” Doorrrr, letusan ke tiga dinamit desakkannya.

“Ok deh klo ente maksa. Cuman bantu ane ni malem nyuci yeh?”

“Ok dah, siap...” jawabnya lantang menyepakati perundingan damai kita.

Malam itu dua ember penuh dengan rendaman pakaian di hantam habis oleh kita berdua. Hingga air di toren hasil nampung bapak pemilik kosan sedari siang habis tak bersisa. Alhasil jemuran atas depan kamarku penuh dengan pakaian basah hasil kerja bakti kami.

“Mantap dah, sob.” ujar Eep sambil mengusap dahinya dari keringat dengan lengan kanannya. Aku hanya bisa tersenyum dan berterimakasih kepadanya, “Trims, sob.”

Dan kami lepas lelah di kamar masing-masing, aku lelap di manjakkan humairah dan Eep terkapar mendengkur di atas kasur buluknya yang sudah mengkempis, karena hilang elastisitasnya di tiban berat badan sahabatku yang hampir 2 kuintal selama satu tahun ini. Ya, kasur buluknya ini baru berusia 1 tahun dipakai sahabat tambunku ini atau lebih tepatnya di tibannya. Karena ini sudah ke tiga kalinya ia mengganti kasur di tahun ke duanya berkamar di sebelahku. Bisingnya dengkuran Eep kini tak terlalu mengganggu di telingaku, serasa seperti suara dengkuran lembu di tengah sawah tempat bermainku saat kecil dulu.

Thursday, June 7, 2012

Garis Santolo di ujung Garut Selatan....

Subuh itu, kami satu tim survei yang berjumlahkan 5 orang bersiap-siap untuk pergi menuju sebuah pantai yang berada di Garut Selatan. Selepas shalat Subuh kami langsung memanaskan tiga sepeda motor yang kami tunggangi dari Bandung ke Kota Garut malam kemarin. Dan kini mereka menjadi teman setia kami yang akan menghantarkan kami sampai ke tujuan, Pantai Santolo. Ya, Pantai Santolo tujuan kami. Karena telah memikat setiap mata kami sejak di Bandung jauh-jauh hari, hingga mau kami berjauh-jauh menyambanginya.

Dan ini panorama perjalanan kami;
Panorama gunung dari kejauhan


Masih dengan pemandangan gunung dan permukiman di kaki gunungnya