Sunday, November 10, 2013

Ini Malammu


"Fit... Bukankah suasana ini yang kau rindukan?" Sebuah tanya terlontar menghujam nalar namun terlampau lembut tersampaikan olehnya.

Aku hanya bisa terdiam terpaku takberbuat apa-apa. Pertanyaan itu cukup membuat kacau alur pikiranku. Sebenarnya apa maksudnya bertanya seperti itu? Takmenjawab bukan menjadi jawaban, maka aku harus menjawab demi sebuah diskusi kecil yang aku buat sendiri dengannya, "Benar, aku merindukan ini."

"Lantas apa yang ingin kau perbuat saat ini, Fit?" Untuk kedua kalinya ia bertanya dengan nada lembut.

Maafkan aku. Sungguh lidah ini kelu lantaran rasa malu yang mulai menguasai diri ini. Sebenarnya mudah-mudah saja aku menjawab pertanyaan itu. Namun suasana ini yang membuat aku menjadi asing dengan diriku sendiri. "Boleh aku berdiam diri saja disini sejenak?"

"Tentu saja, Fit. Bukankah ini malammu?" Ia tersenyum sambil menahan kain hijabnya yang tertiup angin malam.

Aku pandangi lekat-lekat suasana bertabur cahaya kemilau. Seperti malam-malam di kampungku kalau boleh aku mengibaratkan. Namun sayang aku lihat ini bukan di atas langit sana. Melainkan ribuan cahaya yang berasal dari ratusan rumah penduduk, lampu kendaraan, dan gedung-gedung mewah dari kejauhan sini.

"Kenapa denganmu, Fit?" Ia menoleh sambil tersenyum manis.

Sungguh aku terkagetkan dari lamunan sejenak tadi. "Oh, tak-apa. Aku hanya terheran dengan suasana saat ini. Lihatlah sekeliling kita. Adakah yang kau rasakan ganjil?"

Ia pun mengerutkan dahinya yang licin itu. Heran. Kemudian mencoba membenarkan kacamata minusnya. "Maksudmu, Fit?"

"Lihatlah ini semua. Mereka bercahaya seperti tiruan bintang-gemintang. Aku sempat tertipu dengan keindahan sesaat ini." Jelasku sambil menunjuk satu persatu cahaya tiruan di kejauhan sana.

Ia pun tersenyum sambil membenarkan lagi kacamata minusnya, "Tapi bukankah ini indah, Fit?"

Aku menolehnya sambil tersenyum dan mengangguk. 

Memang indah terlihat dari sudut mana pun bila dari kejauhan sini. Tapi apa itu masih berlaku bila mentari terbangun dari ufuk timur sana. Hiruk-pikuk mereka tak setenang saat ini. Ya, setenang kita memandang mereka saat ini, di kejauhan ini. Bukankah malam selalu lebih pandai menutupi sesuatu dibanding pagi dan siang, bahkan saudara dekatnya, sore hari.

"Menurutku ini tak seindah aslinya." Ucapku sambil menatap bintang-gemintang.

"Lantas bukankah kau mengaguminya?" Ia kembali bertanya dengan lembut sambil menatapku lekat.

"Ya, kau benar aku mengaguminya. Namun bukankah yang di sana itu lebih indah?" Aku tunjuk kembali keberadaan bintang-gemintang di atas sana.

"Memang indah di sana. Apalagi di balik cahaya itu." Jelasnya dengan lembut.

"Maksudmu?" Heranku berhasil terpancing olehnya.

"Ya, di balik sana. Bukankah kampungmu di sana, Fit?"

"Kampung? Kampungku di provinsi ini, dibagian dari kabupaten yang sedang berkembang. Di sana masih terhampar luas sawah dan hutan yang masih cukup lebat." Jawabku sambil mengenang.

"Maksudku bukan kampung yang itu. Kampung yang aku maksud kampung kita. Kampung sebenar-benarnya umat manusia berasal." Ia tersenyum sambil membenarkan kembali kacamata minusnya.

"Aku tak paham."

"Baiklah. Akan aku jelaskan sedikit tentang kampung yang ku maksud itu. Kampung yang jauh sekali dari kita. Di sana banyak sekali pepohonan yang berbuah ranum setiap saat. Sungai-sungai yang mengalir dengan indah. Terlampau amat nyaman untuk diceritakan, Fit."

Aku bingung dibuatnya. Apa maksudnya dengan kampung yang ia bicarakan ini. Sungguh aku tak paham.

"Kau tahu soal asal kita dari sana? Bukankah kakek buyut kita pertama kali diciptakan dan hidup di sana?"

Aku tertegun dengan kalimat terakhirnya. Dan aku baru saja memahami nalar berpikirnya. "Maksudmu Surga?"

"Ya, Surga, Fit." Senyumnya ramah.

"Lantas apa yang akan kau lakukan setelah sampai di sana?"

"Yang akan aku lakukan tidak lain sepertimu dan yang lainnya. Aku lebih tertarik dengan apa yang aku lakukan saat ini. Saat dimana kau lihat bintang palsumu itu penuh dengan manusia. Di sana. Tempat yang kau bilang malam masih pandai menyembunyikan sesuatu.

"Hirup-pikuk yang kau bilang tak tenang itu. Aku ingin dapat menabung untuk ongkos pulang kampung nanti. Bukankah kita harus memiliki ongkos bila ingin menaiki kendaraan umum demi mencapai tujuan kita? Aku rasa kau paham soal itu."

"Terimakasih, atas diskusi ini. Kiranya kau mau menabung bersama denganku di sana? Di tempat yang aku bilang bintang palsu itu."

"Maksudmu, Fit?" Herannya sambil mengerutkan dahinya yang licin.

"Maksudku saat ini di malammu yang penuh bintang-gemintang ini. Apakah kau mau meraih bintang bersama denganku? Cahaya bintang yang sebenarnya. Ketenangan yang sebenarnya. Penerang hati yang sebenarnya. Dan sudah tentu akan menjadi penerangan kita saat pulang kampung bersama?"

Gadis lembut berhijab di depanku dalam satu meja disebuah kedai kopi dekat puncak bukit itu pun hanya bisa tertunduk dan diam, tak sepandai penjelasannya tadi tentang kampung yang dirindukannya itu.[]