Friday, March 29, 2013

Ban dan Profesi barunya

Hari Sabtu, pukul 16.30 WIB; 

Roda ban sepeda motor bebek merk satu sayap angsa ini berputar melawan arus waktu. Suasana saat itu begitu gelap mencekam. Hutan pinus khas Gunung Tangkuban Perahu begitu membisu ditengah deras hujan yang tumpah. Jas Hujan yang dikenakkan sudah tak sanggup menahan benturan air dari langit sana. Samar-samar lampu sorot seadanya dari pabrikkan si motor ini pun tak sanggup membelah kegelapan.

Tiba-tiba terasa ada yang berbeda dari laju kendaran tua ini. Kali ini terasa tak selincah biasa, sedikit ada gerakkan lain dari putaran ban belakang. Sempat saya berpikir, apa karena stamina ban belakang yang sudah tak semuda dulu? Ataukah ada ulah tangan jail yang menyebar paku-paku berkarat dijalanan? Tapi itu saya belotkan saja pada terkaan yang pertama. Sambil mengusap lampu sorot terhalang dedaunan yang menempel tertebak angin saya bergumam, terimakasih Sobat, kiranya kau telah lelah biarkan aku yang sekarang menuntunmu.

Pilihan untuk berjalan kaki bukan sesuatu hal yang saya pilih saat itu. Perjalanan pun saya teruskan hingga titik habis udara ban belakang. Kali ini tanjakkan terakhir harus bisa ditaklukkan, karena ini bukan pilihan demi memenuhi ketergesah-gesahan saya. Hingga titik dimana turunan itu telah terlihat,walau sesekali kabut dan deras hujan menghalangi. Plang berwarna hijau dan bertulisan putih sudah cukup membuat saya merasa manusia yang paling beruntung saat itu. Artinya, plang penunjuk arah itu telah memberi berita turunan akan segera menghibur ketergesahan ini.

Tikungan-tikungan curam saya lewati dengan ban belakang yang mulai mengempis dan disertai bunyi klakson kencang, padahal sebenarnya itu adalah rem belakang haus. Kira-kira bunyinya seperti rem pada sepeda gunung. Mungkin karena saya termasuk orang yang menganut pribahasa, "Sambil menyelam minum air sampai kembung." 

Memang kawan, tikungan-tikungan curam dan licin itu dapat saya lalui. Namun perjalanan menjadi lebih sedikit gaduh dan tensi horor berkurang. 

Putaran roda belakang sekarang sudah mulai sempoyongan tak karuan. Untung saja permukiman sudah saya sambangi. Tepatnya dibilangan Ciater. Perlahan jalan motor bebek ini. Sembari mengedarkan pandangan kiranya ada tabung gas yang mirip Black Box tergeletak dibahu jalan. Syukur Alhamdulillah, yang dicari ketemu. Letaknya satu atap dengan pangkalan ojek depan sebuah Spa yang tenar. "Mang, ini ban bocor euy." curhat saya. Dengan sigap sang Mamang tambal ban merawat ban yang cedera.

Hampir 15 menit sudah menunggu rupanya perawatan sang ahli ban belum kunjung kelar. "Allahu Akbar......" Suara adzan  Maghrib berkumandang. 

Saya kira ini ibarat terhimpit waktu. Akhirnya saya putuskan dengan kondisi yang darurat ini shalat dalam posisi terduduk sembari menunggu ban belakang tertambal. Setelah khatam menunaikan kewajiban nampaknya belum juga ada gelagat akan beres operasi ban ini. Disaat itu saya coba cairkan suasana seperti cairnya hujan. "Mang, bocornya banyak yah?"

"Iya A. Lumayan ada dua. Tapi gak ada pakunya, A." jelasnya. Kemudian saya terangguk dan kemudian diam kembali.

Tuesday, March 19, 2013

Soto Ayam Untuk Sarapan Pagi Kali ini

Dua pekan sudah saya bergelut di ibu kota Jawa Barat, Bandung. Maka kepulangan saya untuk saat ini tiada lain untuk melarutkan rindu yang sudah mulai menggumpal didada. Rindu kepada keluarga disana itu sudah pasti, rindu dengan suasana rumah dan makanannya itu hal yang sulit dilupakan. Tapi untuk saat ini saya pulang ada misi lain. Ya, misi lain. Mungkin ini tanpa mengurangi rindu-rindu sebelumnya. 

Menikmati suasana dibilangan jalan R.E. Martadinata yang teduh rindang pohon-pohon besar sepanjang trotoar dekat kampus SMA saya dulu. Lantas Situ Bulet menjadi kunjungan selanjutnya. Nampak beda kolam ikan raksasa ini. Taman-taman kota begitu asri dan ada puluhan burung dipenjara disana demi menghibur warga disekitar.

Ah, memang Situ ini begitu menghibur. Sejauh mata memandang kursi-kursi taman penuh oleh pengunjung yang berbagai status. Ya, berbagai status; pacar, suami, istri, anak, teman, paman, bibi, kakek, nenek, tukang dagang gulali, tukang baso, tukang warung rokok, tukang balon gas, penjual lumpia basah. Kompleks juga ternyata status mereka, kawan. :)

Tuesday, March 12, 2013

Kelas 3A Dan Piagam Penghargaan

Saat itu Acil yang mulai menginjak ABG menyusuri jalur selokkan yang sudah lama mengering dan tak berfungsi sebagaimana mestinya. Jalan raya seadanya alias aspalan yang sudah memborok lubang kronis ia jalani dengan riang. Sesekali suara khas sungai yang mulai mengering mengiringi perjalanannya dari sebelah kiri sudut matanya sana. Bahkan burung -kapinis- sebutan orang lokal untuk burung yang masih sanak famili dengan walet ini, meliuk-liuk pagi buta di udara.

Acil pagi itu begitu memburu kepagian. Langkahnya yang riang namun lebar-lebar membuat tukang bubur ayam kalah cepat bersama gerobaknya. Tas slempang yang ia kenakkan terjedut-jedut di belakang langkahnya. Sisiran rambutnya masih tetap menyamping kanan klimis mengandung minyak rambut urang-aring pemberian sang Emak. Matanya terus saja tertuju pada jalur selokkan yang tak bersari pati itu kecuali kalau sedang hujan. 

Pemuda ABG ini masih terus menjaga nafas dan langkahnya yang panjang itu. Pakaian seragam putih dan bercelana biru pendek yang kalau kebanyakkan temannya bilang, "Celana Sontog Akherat". Ya, penjulukkan ini karena panjang celana tak melebihi lutut kakinya. Sebab celana yang sedang musim atau bisa dikatakan sedang trend-nya saat itu, celana yang panjangnya melewati lutut para siswa putra. Tapi trend itu tak berpengaruh bagi sosok pemuda ABG bungsu ini, Acil.

Sesampai digedung kampus sekolah menengah pertamanya yang bercatkan selaras dengan warna seragamnya, ia bergegas memasuki ruangan kelas yang bertuliskan "3 A" di plang depan pintunya. Ia taruh tas slempang dan topi upacaranya disorog kolong meja duduknya. Lantas ia pandangi seksama cat ruangan kelasnya yang sudah berganti warna biru langit hasil kerja bakti teman sekelas, Ahad kemarin. Pot-pot bunga berjajar dengan rapih di kusen-kusen jendela, foto-foto pejuang terpampang dengan apik didinding-dinding kelas, dan tentunya meja guru yang telah terbalut oleh taplak bermotif kembang merah menyala tepat didepan meja duduknya.

"Semoga jadi juaralah!" gumamnya dalam hening. 

Monday, March 4, 2013

Ikus dan Ketupat sayur Padangnya

Berawal kisah dari sebuah mobil bus dalam kota, Damri. Pemuda asal Jawa Timur ini meniti pendidikan kejenajang yang lebih tinggi. Saat itu tepat pukul 06.00 am atau jam pagi maksud saya jam enam pagi. Laju jalan bus yang sudah sepuh ini begitu nampak ramah dengan santainya membuat pemuda ini takjub dengan situasi urban dikota yang sedang ia susuri ini.

Entah bagaimana ceritanya pemuda ini berpikiran bahwasannya Bandung menjadi pilihannya untuk menuntut ilmu di jenjangnya pasca SMA. Selepas jam di HandPhone-nya sudah menunjukkan pukul 07 pagi ia telah sampai di pull bus ringkih ini. Ya, tepat di depan Universitas yang dia maksud, sebuah kampus negeri di Kawasan Dipati ukur. Berbekal tas gendong yang berisikan berkas-berkas untuk daftar ulang, dia penuh optimis. "Aku neng kene, bakal sukses." ujarnya dalam hati. Namun semangatnya tak dibarengi dengan isi perutnya yang sudah mulai keroncongan, maklumlah perjalanan jauh dari karawang menuju kampus ini cukup membuat sarapan subuh tadi cepat punah. Ia putuskan untuk membeli sepiring porsi kupat sayur padang yang tak jauh dari pemberhentiannya. Pemuda ini pun memesan apa yang ia lihat itu, demi mendiamkan sejenak organ isi perutnya yang bernama lambung. "Mas, saya pesen satu porsi yo?" pesannya.

Baru beberapa detik ia rebahkan pinggangnya sejenak, pesanan pun sudah didepan mata terhidang. Kontan saja ia begitu lahap menyantap kupat sayur khas Padang itu. Kenikmatan pun di bayar dengan teriakan alaram jam yang di tunjuk-tunjuk oleh handphone-nya sudah tidak dapat berkompromi, sebab batas pengumpulan berkas itu tepat jam 7.30 WIB. Langkahnya bergegas berlari meninggalkan piring bekasnya, kursi duduknya, dan uang ribuan yang berjumlah lima lembar serta bertutur, "Terima kasih Mas..."

Sesampainya di depan registrasi tepatnya di Aula serba guna milik universitas itu. Dia di pandu oleh kakak-kakak kelasnya. Hingga tibalah ia di sebuah pendopo dekat masjid Kampus.
 "Namanya siapa?" tanya seorang kakak kelas yang aktif di masjid.
 "Nama ku Ikus, Mas."
 "Ikus?"
 "Ngge, Mas." tembalnya.
 "Waduh nama kamu kok asing yah, kamu asal flores yah?" tanya sang kakak kelas.
"Bukan, Mas. -Ikus-, Ika Kusuma. Saya asli dari Banjar Negara. Produk Lokal, Mas." tegasnya.
"Ow, maaf ya saya baru dengar nama kamu tuh ternyata punya orang jawa juga yah."

Kemudian mereka pun meneruskan interview itu dan dipenghujung pembicaraan tiba-tiba pemuda ini memberikan surat yang dititipkan dari seorang guru dari SMA-nya. Ya, guru yang telah memberikan mandat melalui surat itu. Dalam amplop itu terlihat samar kalimat-kalimat serius untuk menitipkan pemuda ini.
"Mas ini, saya disuruh menyampaikan surat ini dari guru saya waktu di SMA. Kata beliau, tolong disampaikan ke kakak kelas yang mengurusi masjid." ujarnya sambil menyerahkan surat wasiat itu dengan polosnya. Tanpa ada kata sang senior menerimanya.

Hari-hari pun ia jalani dikampus barunya. Semakin lama lingkup pergaulannya berkembang hingga ke kampus negeri seberang. Jadwalnya pun kian lama kian padat di kota ini. Bukan melulu urusan perkuliahan saja, namun hingga kegiatan kemahasiswaan pun ia cantumkan pada jadwal hariannya. Entah itu rapat, penyiapan acara, promosi kegiatan, hingga menjadi bagian panitia.

Hingga tercetus dalam pikirannya, "Aku sing bisa hafal khatamin Mushaf iki." Disela-sela kesibukkannya ia sempatkan untuk membaca dan mengulang mengingatnya.

Tiga tahun tak terasa masa menimba ilmu di kampus perjuangan ini. Sahabat dekat pun satu persatu telah mendahuluinya lulus dan kebanyakan memilih untuk kembali ke daerah masing-masing. Dengan tekad kuat ia pun berusaha menyelesaikan program diploma-nya dengan nilai yang cukup memuaskan. Alhasil pemuda ini lulus dan mengikuti jejak kawan-kawannya yang lain yaitu, kembali kedaerah asal.