Saturday, December 7, 2013

AKU SUNGAI



Malam ini takseperti malam-malam biasanya. Entah mengapa bisa terjadi? Seorang pemuda seperempat abad bergumam duduk termenung di atas bantaran sungai dekat tempat ia mengais rezeki. Bintang-gemintang takramah menampakkan wajahnya beberapa malam ini. Hanya riak arus sungai yang masih setia menemani lamunan sang pemuda sebagai ujung penghibur dikala letih. Walau sesekali buntalan-buntalan plastik sampah hanyut di sana. "Uh, muak aku melihat semua ini. Ibu kota macam apa ini? Tak-ada yang bisa dibanggakan sungainya." 

Sebotol minuman soda ia tenggakkan kembali untuk yang ke-tiga kalinya, hingga setengah botol yang bersisa. Sambil sesekali ia menendang-nendang batu kerikil ke tengah sungai, bak pemain bola yang sedang berlatih tendangan jarak jauh. "Kenapa dengan semua ini?" Tanyanya resah sambil menarik napas dan menghembuskannya kembali.

Gedung-gedung bertingkat masih berdiri angkuh berjajar di hadapannya. Lampu-lampu itu begitu mewah terpandang dari sudut mata pemuda ini. Kemudian menenggak kembali botol digenggamannya dan menghabiskannya. Meremasnya. Berteriak dalam batin, "Ya, Tuhan ada apa denganku?"

Adib. Ya, pemuda seperempat abad ini bernama Adib Saeful Rizal. Ia berasal dari sebuah kampung cukup terpencil dan jauh dari akses jalan. Apabila ia membandingkan fasilitas sarana umum di hadapannya kini dengan kampungnya sungguh seperti 'bumi dan langit'. Listrik pun belum masuk di sana, jalan-jalan sudah cukup nyaman bagi penduduk setempat yang hanya terbuat dari jejeran batu hasil swadaya masyarakat tanpa lapisan aspal hitam mulus. Teve? Jangan kau tanya soal alat elektronik macam di ibu kota. Di sana barang mewah dan canggih hanyalah radio bertenaga bantu batu baterai. Dan itu hanya Pak Haji Sobur yang memilikinya, juragan kayu.

"Tuhan hamba belum dapat membahagiakan orang tua hamba." Untaian do'a terlantun lirih dan berbisik. Memang gaji seorang kuli bangunan belum dapat mencukupi kebutuhan hidup Adib dan orang tuanya di kampung.

Sunday, November 10, 2013

Ini Malammu


"Fit... Bukankah suasana ini yang kau rindukan?" Sebuah tanya terlontar menghujam nalar namun terlampau lembut tersampaikan olehnya.

Aku hanya bisa terdiam terpaku takberbuat apa-apa. Pertanyaan itu cukup membuat kacau alur pikiranku. Sebenarnya apa maksudnya bertanya seperti itu? Takmenjawab bukan menjadi jawaban, maka aku harus menjawab demi sebuah diskusi kecil yang aku buat sendiri dengannya, "Benar, aku merindukan ini."

"Lantas apa yang ingin kau perbuat saat ini, Fit?" Untuk kedua kalinya ia bertanya dengan nada lembut.

Maafkan aku. Sungguh lidah ini kelu lantaran rasa malu yang mulai menguasai diri ini. Sebenarnya mudah-mudah saja aku menjawab pertanyaan itu. Namun suasana ini yang membuat aku menjadi asing dengan diriku sendiri. "Boleh aku berdiam diri saja disini sejenak?"

"Tentu saja, Fit. Bukankah ini malammu?" Ia tersenyum sambil menahan kain hijabnya yang tertiup angin malam.

Aku pandangi lekat-lekat suasana bertabur cahaya kemilau. Seperti malam-malam di kampungku kalau boleh aku mengibaratkan. Namun sayang aku lihat ini bukan di atas langit sana. Melainkan ribuan cahaya yang berasal dari ratusan rumah penduduk, lampu kendaraan, dan gedung-gedung mewah dari kejauhan sini.

"Kenapa denganmu, Fit?" Ia menoleh sambil tersenyum manis.

Sungguh aku terkagetkan dari lamunan sejenak tadi. "Oh, tak-apa. Aku hanya terheran dengan suasana saat ini. Lihatlah sekeliling kita. Adakah yang kau rasakan ganjil?"

Ia pun mengerutkan dahinya yang licin itu. Heran. Kemudian mencoba membenarkan kacamata minusnya. "Maksudmu, Fit?"

"Lihatlah ini semua. Mereka bercahaya seperti tiruan bintang-gemintang. Aku sempat tertipu dengan keindahan sesaat ini." Jelasku sambil menunjuk satu persatu cahaya tiruan di kejauhan sana.

Ia pun tersenyum sambil membenarkan lagi kacamata minusnya, "Tapi bukankah ini indah, Fit?"

Aku menolehnya sambil tersenyum dan mengangguk. 

Memang indah terlihat dari sudut mana pun bila dari kejauhan sini. Tapi apa itu masih berlaku bila mentari terbangun dari ufuk timur sana. Hiruk-pikuk mereka tak setenang saat ini. Ya, setenang kita memandang mereka saat ini, di kejauhan ini. Bukankah malam selalu lebih pandai menutupi sesuatu dibanding pagi dan siang, bahkan saudara dekatnya, sore hari.

"Menurutku ini tak seindah aslinya." Ucapku sambil menatap bintang-gemintang.

"Lantas bukankah kau mengaguminya?" Ia kembali bertanya dengan lembut sambil menatapku lekat.

"Ya, kau benar aku mengaguminya. Namun bukankah yang di sana itu lebih indah?" Aku tunjuk kembali keberadaan bintang-gemintang di atas sana.

"Memang indah di sana. Apalagi di balik cahaya itu." Jelasnya dengan lembut.

"Maksudmu?" Heranku berhasil terpancing olehnya.

"Ya, di balik sana. Bukankah kampungmu di sana, Fit?"

"Kampung? Kampungku di provinsi ini, dibagian dari kabupaten yang sedang berkembang. Di sana masih terhampar luas sawah dan hutan yang masih cukup lebat." Jawabku sambil mengenang.

"Maksudku bukan kampung yang itu. Kampung yang aku maksud kampung kita. Kampung sebenar-benarnya umat manusia berasal." Ia tersenyum sambil membenarkan kembali kacamata minusnya.

"Aku tak paham."

"Baiklah. Akan aku jelaskan sedikit tentang kampung yang ku maksud itu. Kampung yang jauh sekali dari kita. Di sana banyak sekali pepohonan yang berbuah ranum setiap saat. Sungai-sungai yang mengalir dengan indah. Terlampau amat nyaman untuk diceritakan, Fit."

Aku bingung dibuatnya. Apa maksudnya dengan kampung yang ia bicarakan ini. Sungguh aku tak paham.

"Kau tahu soal asal kita dari sana? Bukankah kakek buyut kita pertama kali diciptakan dan hidup di sana?"

Aku tertegun dengan kalimat terakhirnya. Dan aku baru saja memahami nalar berpikirnya. "Maksudmu Surga?"

"Ya, Surga, Fit." Senyumnya ramah.

"Lantas apa yang akan kau lakukan setelah sampai di sana?"

"Yang akan aku lakukan tidak lain sepertimu dan yang lainnya. Aku lebih tertarik dengan apa yang aku lakukan saat ini. Saat dimana kau lihat bintang palsumu itu penuh dengan manusia. Di sana. Tempat yang kau bilang malam masih pandai menyembunyikan sesuatu.

"Hirup-pikuk yang kau bilang tak tenang itu. Aku ingin dapat menabung untuk ongkos pulang kampung nanti. Bukankah kita harus memiliki ongkos bila ingin menaiki kendaraan umum demi mencapai tujuan kita? Aku rasa kau paham soal itu."

"Terimakasih, atas diskusi ini. Kiranya kau mau menabung bersama denganku di sana? Di tempat yang aku bilang bintang palsu itu."

"Maksudmu, Fit?" Herannya sambil mengerutkan dahinya yang licin.

"Maksudku saat ini di malammu yang penuh bintang-gemintang ini. Apakah kau mau meraih bintang bersama denganku? Cahaya bintang yang sebenarnya. Ketenangan yang sebenarnya. Penerang hati yang sebenarnya. Dan sudah tentu akan menjadi penerangan kita saat pulang kampung bersama?"

Gadis lembut berhijab di depanku dalam satu meja disebuah kedai kopi dekat puncak bukit itu pun hanya bisa tertunduk dan diam, tak sepandai penjelasannya tadi tentang kampung yang dirindukannya itu.[]

Friday, October 25, 2013

Aku Trianti


Selepas adzan berkumandang dan shalat Isya didirikan, entah angin apa yang membuat telepon genggamku menjerit rewel ingin diperhatikan. Saat itu aku sedang berurusan dengan komputer jinjingku demi menyelesaikan sesuatu hal yang sudah aku janjikan empat tahun lalu, walau kini sudah di ambang lima tahunnya. Mata minusku kini masih sibuk dengan ribuan kata yang terpampang di layar mesin ketik abad dua puluhan ini. Ribuan kata yang telah aku kerjakan tiga bulan kemarin rupa-rupanya masih belum mendapat satu kata yang menghantarkan aku keurusan berikutnya.

Telepon genggam itu tak aku gugu pinta omelannya. Saat ini aku harus fokus dengan komputer jinjingku. Segelas cangkir teh manis hangat selalu setia menemani, walau terkadang ia mulai menjadi pahit dan dingin di ujung penantiannya. Aku tahu gula pasir sedang menjadi barang langka di kamar indekosku. Entah langka atau apa? Yang jelas, aku terasa sudah mulai tak sanggup membelinya. Uang saku bulanan sudah habis untuk biaya tambahan membeli tinta dan kertas. Tapi apa boleh buat air panas seduhan sudah terlanjur teracik, namun organ mulut ini hanya sempat menyasapnya tiga kali saja. Atau jika kurang manis aku campurkan saja tinta sebagai pengganti pemanis? Karena tinta dibeli berasal dari biaya belanja gula pasir yang manis itu.

Nada jeritan rewel telepon genggamku sudah beberapa menit terdengar nyaring. Senyap. Nyaring lagi. Hening kembali. 

Thursday, September 26, 2013

Ikrar Persahabatan di Car Free Night

Sore itu tepatnya saat mentari mulai terpejam, dua orang gadis menyusuri trotoar Jalan Singawinata. Mereka begitu berseri-seri sibuk berjalan sambil membicarakan banyak hal seperti kebanyakan kebiasaan gadis lainnya. Pertemuan ini sudah mereka rencanakan sebulan yang lalu pada hari kesibukan mereka masing-masing. "Lona, akhirnya kita mau sampai." ujar Nuril sambil menunjuk pusat keramaian yang mereka cari. 

Rimbun pepohonan begitu meneduhkan suasana saat itu. Ditambah banyaknya aneka ragam jajanan kuliner yang cukup menggiurkan mata mereka. Semarak lampu-lampu lampion hiasi jalan begitu teduh menerangi langkah pejalan di bawahnya. Sudah tentu suasana ini membuat semakin bercahaya dibalik kaca mata minus mereka. Riak-riak air Situ Buleud membuat perjalanan jauh tak terasa melelahkan. Sungguh Car Free Night yang menyenangkan.

Lona saat itu mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang berwarna putih berpadu dengan biru langit yang anggun dipadukan celana jins abu-abu pudar dan kerudung biru muda bermotif kotak-kotak begitu sangat cocok dengan warna kulitnya yang sawo matang. "Kamu cantik, Na." puji Nuril sambil tersenyum selepas melihat dengan seksama sahabatnya ini.

Monday, August 26, 2013

Duloh Sang Makelar Penakluk Trio Serigala Berbulu Karung Beras


"Gimane ini bisa kejadian, ane komplain kalau begini!" Duloh berapi-api sambil menegangkan urat kerongkongannya. Matanya terbelalak memerah karena darah dalam tubuhnya telah mendidih sampai ke ubun-ubun. Rambutnya yang keriting nyaris keribo makin tak karuan bentuknya, bisa dibilang mirip sarang tawon belasteran dengan sarang burung. Ia berteriak-teriak dan meracau sepanjang jalan seperti orang yang kesetanan. Langkahnya yang panjang terlihat sempoyongan seperti pemabuk ulung yang telah menenggak puluhan botol cairan alkohol murahan. "Kemana lu? Ke ujung dunia juga ane jabanin!!" racaunya.

***

Sebuah kampung yang tak ubahnya seperti desa-desa lain di Nusantara. Disana tumbuh dengan subur pepohonan yang rindang dan dihiasi buah-buahan yang ranum setiap masa musimnya. Kampung ini di apit oleh dua sungai yang melintang di depan dan belakang pemukiman warga. Maka tak heran bila sawah begitu membentang disekitarnya dan kolam-kolam ikan begitu banyak menggenang disana. Warganya ramah, saling membantu atau bisa dikatakan soliditasnya cukup kuat.

Kesuburan daerah ini berimbas kepada kesuburan penduduknya. Kemelimpahan ini membuat pemborosan pengeluaran uang pun tersendat. Kebutuhan mereka sudah sangat terpenuhi dengan cukup. Mungkin nyaris hanya belanja pakaian dan perabotan rumah saja yang mereka harus beli ke kota, itu pun hanya setahun sekali mereka lakukan menjelang lebaran. Untuk urusan kebutuhan makan sudah sangat cukup di lumbung-lumbung mereka. Kampung yang aman sentosa ini bernama Kampung Desa Buncit.

Pagi ini Duloh pemuda berambut keriting nyaris keribo menyasap segelas kopi di warung kopi Bang Jupri. Pemuda yang berprofesi sebagai makelar jual beli tanah ini begitu gemar dengan kopi dan terlebih itu buatan Bang Jupri. Warung yang tersohor dengan sebutan warung kopi ini entah mengapa disebut warung kopi, padahal barang-barang yang dijajakkan amat banyak. Mulai ciki lima ratus perak, aneka goreng-gorengan, kacang bungkus, sampai jual alas kaki yang tak lekang oleh waktu -sendal jepit-. Memang warung ini sudah tersohor dengan kenikmatan minuman hitam pekat racikkan pemilik warungnya. "Emang gak ada duenye dah kupi buatan ente, Bang!" Duloh memuji segelas minuman di tangannya sambil mengacungkan jempol ke empunya, Bang Jupri.

Warung ini selain pusat jajanan merupakan pusat informasi di kampung yang secara hirarki penamaan amatlah ganjil itu -Kampung Desa Buncit-. Karena tiap saban hari warga disana hilir-mudik menyambanginya. Bila di kota ada cafe yang sering digunakan meeting oleh pengusaha dan orang kantoran, maka di kampung ini pun ada dan itu tepatnya di warung kopi Bang Jupri lokasinya. Mereka sering; jual beli tanah, jual beli ayam, jual beli kambing, jual beli kerbau, bahkan rapat pengurus kampung pun digelar dengan jadwal tetap hari Senin atau Kamis pada jam-jam pagi menjelang siang. Duloh adalah makelar yang sering beroperasi disana. Bila transaksi lancar Bang Jupri sering kebagian uang denger terkhusus dari Duloh sang makelar kondang berijazah tamatan sekolah menengah atas.

Pelanggan pertama Bang Jupri di Kamis pagi ini masih dengan santai menyasap segelas kopi pesanannya. Duloh memang pelanggan setia warung ini kalau untuk urusan ngopi. Bisa dikatakan Duloh-lah pelanggan pagi, siang, malamnya warung tersohor ini. "Loh, kalau ane bikin kartu member kayaknye ente pelanggan pertama yang bakalan ane kasih." canda Bang Jupri sambil sibuk menuang air panas ke termos sebagai persediaan.

"Bisa aje ente, Bang." sahut Duloh sambil tersenyum lebar.

"Udeh jangan kebanyakan senyum! Kupi ane jadi pade sepet nih."

"Beuh, Bang. Emangnye nih kite punya senyum kagak ade manis-manisnya apa?" tembal Duloh yang merubah mimik muka memancungkan bibirnya mirip bebek. Dan mereka pun terbahak bersamaan.

"Oh ya, jam sepuluh entar bakalan ada rapat kagak, Bang?"

"Biasanye sih ade. Cuman kagak tau dah ane."

Duloh pun menyasap kembali kopi hitamnya yang tinggal seperempat gelas itu.

Selang beberapa menit menjelang jam sepuluh, "Assalamualaikum?" salam Munawar dari luar warung sana yang dibuntuti Muldi dan Miun.

"Wa'alaikumussalam." duet Duloh dan Bang Jupri.

"Widih, pagi bener Loh ente ngantor dimari?" tanya Munawar meluncur dengan nada sinis.

"Waduh masih Pagi nih. Mata aje belom mareng-marengnye. Maksud ente apa, War?"

"Santai aje, Loh. Galak bener, becanda kite." Muldi mencoba menenangkan.

Memang Duloh dan Munawar memiliki persaingan sejak di bangku SD sebagai kandidat ketua kelas. Dan Munawar selalu saja memenangkan persaingan ini, karena lebih pandai meyakinkan teman-temannya dengan janji-janji yang cukup manis, semanis permen kojek. Namun persaingan itu sempat memadam di bangku SMP karena mereka berbeda sekolah. Hingga persaingan itu kembali memanas saat pemilihan ketua pengurus kampung setengah tahun lalu.

Duloh menghabiskan kopi terakhir di gelasnya dengan wajah ketus. Dan ia pun berlalu dari warung Bang Jupri meninggalkan catatan kasbon yang bertambah satu gelas kopi dengan kode, "Bang nambah satu ye." Bang Jupri pun selalu memakluminya. Memang catatan kasbon Duloh naik-turun, kadang gak ada-kadang numpuk gak tercatat.

"Bang, kite pesen kupinye tiga yeh sama gorengannye sepuluh." Munawar memesan menu rapat pengurusannya.

-Trio M- julukkan orang sekampung untuk tiga serangkai yang namanya di awali dengan huruf M ini pun memulai diskusi rahasia mereka. Agenda yang sedang hangat mereka bahas adalah soal pembagian beras subsidi pemberian pemerintah pusat secara cuma-cuma untuk warga kurang mampu yang setiap bulannya selalu ada. Dalam rapat ini Munawar sebagai ketua pengurus mengusulkan beras ini untuk tidak dibagikan kepada warga, dengan alasan warga di Kampung Desa Buncit terbilang mapan. Sikap Muldi dan Miun sebagai bawahan pun tidak bisa berbuat banyak, pada akhirnya mereka menyepakati saja dengan alasan ada keuntungan bagi mereka. "Sudah saja kita bagi di antara kita. bagaimana?" usul Munawar dengan nada yang berbisik sejak sepuluh menit awal rapat tadi. Muldi dan Miun pun menganggukan kepalanya saja sebagai kode kesepakatan mereka. Selepas pembicaraan berbisik itu pun mereka meneguk gelas-gelas kopi mereka dengan diselingi obrolan santai lainnya hingga siang menjelang pembubaran rapat mereka.

Sore hari tepatnya di warung yang tersohor di Kampung Desa Buncit lokasinya tak jauh dari permukiman warga, Duloh kembali menyambanginya. Ia baru saja menyelesaikan lobinya dengan sang pembeli tanah milik haji Juki yang dimakelarinya di kampung sebelah.

"Gimane udah rampung, Loh?"

"Masih panjang prosesnye, Bang." jawab lemas Duloh.

"Santai aje Loh. Yang namenye usahe kudu dijalanin terus kalo mau sukses." nasihat Bang Jupri yang gak biasanya ia begitu bijak.

"Iye, Bang." Duloh menyahut disusul anggukannya.

"Loh, ane liat tadi gelagat si Trio M ade yang mencurigakan tuh."

"Mencurigakan gimane, Bang?" tanya Duloh penasaran.

"Ya, gitu. Tadi pas pagi rapat gak biasanye mereka ngobrolnye bisik-bisik. Kalo Abang gak salah denger sih ade bahase beras subsidi dari pemerintah pusat buat orang suseh di kampung eni." jelas Bang Jupri sambil menggaruk-garuk pelipis mata kanan dengan jari telunjuknya.

"Wah bagus dong. kenape harus dicurigain sih?"

"Masalahnye itu beras sama mereka kagak bakalan dibagiin, Loh."

"Yang bener Bang?"

"Iye bener." Bang Jupri menyakinkan pernyataannya.

"Gimane bise. Yang hak kudu mah kudu dapet, kagak beres ini urusan namanye." sergah Duloh berapi-api. Bang Jupri pun hampir terperanjat dari posisi duduknya.

Duloh pun kembali duduk dan berpikir untuk mencoba mencari akal. "Gimane caranye itu beras kudu kebagiin ke warga. Kan di kampung kite ada Abah Sarip yang udeh tue renta, mana anak-anaknye gak ade yang mau ngurusin lagi die. Nah yang kaye gitu kudu dikasih." gusar Duloh dengan nada yang tak beraturan.

"Udeh nih ngupi dulu deh. Biar lempeng lagi pikiran ente, Loh." Bang Jupri mencoba menenangkan sambil menyodorkan segelas kopi tersohornya.

Tanpa banyak cakap Duloh kembali duduk dan menyasap kopi gratisnya. Ya, kopi gratis statusnya bila Bang Jupri yang mengasih langsung tanpa harus memesan.

"Ane punya ide Bang." Duloh mengagetkan Bang Jupri untuk kedua kalinya.

"Ape Loh, ape Loh?"Sergah Bang Jupri.

"Gini Bang, kalo ane besok pagi pura-pura mabok aje? Kan si Munawar dan kawan-kawan paling takut tuh sama orang mabok. Setau ane dulu mereka takut gare-gare pernah di palak sama pereman gang ujung jalan sono. Nah takutnye sampe sekarang gak sembuh-sembuh. Gimane Bang?" Usul Duloh dengan mata berbinar.

"Bagus juga tuh." sahut Bang Jupri sepakat sembari mengacungkan jempol kepada pelanggan setianya ini.

***

Ke-esokan paginya.
"Woi, Munawar apa-apaan lu kagak ngebagiin beras hak warga? Apa lu mau gue beri!" Racau Duloh sambil berjalan sempoyongan di kantor pengurus kampung disusul terperanjatnya Trio M di meja kerjanya masing-masing.

"Kagak, Loh. Bukan maksud gue be..be..begitu." jawab Munawar tergagap ketakutan.

“Terus maksud lu gimane?" tanya Duloh dengan suara diserak-serakkan agak menyentak.

"Iye gue ngaku salah, Loh. Cuman tuh beras udeh gue jual. Terus duitnye udeh pada dibelanjain sama kite semua." jawab koor Munawar dan kawan-kawan miris.

"Ya udeh sekarang klo lu pade kagak bisa balikin tuh beras sama yang berhak, mendingan lu cabut aje dari kampung. Sama umumin bahwa lu pade udeh ngundurin diri pake sepeker masjid!" Sentak Duloh semakin nyaring memegang situasi.

"I..i...iye Loh." tergagap koor Trio M disusul senyuman kemenangan Duloh.

Rencana Duloh dan Bang Jupri pun berhasil dengan ditandai ketiga pengurus kampung itu yang lari pontang-panting meninggalkan jabatan di meja kerjanya.[]

Tuesday, August 20, 2013

Di Meja Cafe....


Meja, aku dan kamu. Sempat kau berpangku tangan diatas meja itu. Segelas es teh manis pesananmu tersisa utuh setengah. Kita telah habiskan waktu berbincang tak tentu arah. Jika kau melihat jalanan di depan sana, seperti itu pembicaraan kita. Ramai, berliku, dan macet merayap. Tapi gerak matamu datar. Hanya sesekali aku lihat dia lincah. Apa engaku malu? Ataukah risih dengan mataku?

Hei, lihatlah meja bundar dihadapan kita. Apa pantas pertemuan kita ini seperti perundingan antar negara yang bertikai? Tapi lengkungan senyummu menjawab itu bukan kita. Ya, ini pertemuan ramah-tamah yang kau pinta lewat sms kemarin. Aku kini sebagai tamu-mu. Kita duduk berdua di sudut dekat jendela yang menghadap jalan di cafe ini. Belum sempat aku menikmati segelas minuman kesukaanku yang berembun dingin, manis dan kecut itu. Disudut lain kau begitu nikmat menyelesaikan tegukkan cairan kecoklatan emas milikmu dengan diselingi senyuman usil menyindirku. "lemon teh, ya mba satu!" itu bahan ejekkanmu berkat logat Sunda yang menempel di lidahku selepas memesan tadi.

Sunday, July 28, 2013

Sebait Tanya Untukmu


Siang itu di Pelataran Masjid Al-Ikhlas cukup ramai tak kalah oleh kesibukkan pasar Ujung Berung. Lalu lalang mobil-mobil besar dan angkot terlihat jelas dari sana. Memang masjid ini berada tepat di depan jalan raya antar kota. Maka tak salah bila pelatarannya menjadi tempat paling favorit bagi para pelancong atau warga sekitar di Bulan Ramadhan untuk sekedar berduduk-duduk dan berselonjoran ria atau berbaring sejenak yang di ujungi dengan bunga tidur. Termasuk Jaman, pemuda kurus berwarna kulit sawo matang itu. 

Jaman memarkirkan sepeda motornya dan memilih beristirahat sambil menunggu waktu Ashar sebelum ia melanjutkan kembali perjalanan pulang kampungnya. Ia memandangi di sekeliling tempat ia terduduk sambil meluruskan kedua kakinya. Rata-rata banyak yang sedang mengobrol dengan tema pembicaraan yang nampak menarik bagi mereka masing-masing. Jaman mengistirahatkan badannya sejenak dengan bersandar ke tembokkan masjid sambil memeriksa HandPhone-nya. Tiba-tiba dua sejoli yang entah siapa nama mereka memilih duduk tepat di depannya. Jaman, pemuda pelancong ini pun tak merasa terusik dengan pemandangan di hadapannya itu.

Jaman sempat sesekali memperhatikan sepasang muda-mudi itu ketika sang wanitanya tertawa kecil manja. Apa sampai ya mereka? pertanyaan muncul dibenak sang pelancong sebatang kara saat itu. Pemuda seperempat abad itu mengusap dahinya yang mulai berair keringat karena panas. Jaket serta rompi anti angin ia buka untuk mendapatkan udara segar. Barang kali masih tersisa udara-udara sejuk pagi tadi khas Bandung.

Ketika angin berhembus, berlalu pula sepasang kekasih anak muda itu. Entahlah, mungkin malu terasa di awasi atau memang tertiup oleh angin. Entahlah.

Tak lama muadzin mengumandangkan tugasnya. Jaman pun bergegas merapihkan barang bawaannya dan bersiap-siap untuk shalat.

***

Thursday, June 20, 2013

Jamal dan Jaman


Gedung berwarna putih berpadu dengan hitam itu masih kokoh bertengger di jalan protokol kota. Gedung yang kembar ini masih nampak ramah meladeni kamera-kamera pengunjung. Dari DSLR, kamera mini poket, sampai kamera HP yang pixcelnya gak seberapa. Tapi mereka senang dengan keberadaan dua gedung ini. Konon namanya Gedung Kembar, maka di depan gedung itu berdiri patung Sakula Nadewa -tokoh pewayangan yang sama kembar-.

Terduduk seorang pemuda di tembok pelataran gedung itu. Pemuda ini berperawakkan kurus dengan potongan rambut belah tengah tak simetris, serta kulitnya yang agak gelap. Ia menenggak setengah isi botol minuman mineral yang baru saja ia beli di warung seberang. 

Pemuda ini perhatikan disekitarnya tepatnya disekeliling gedung kembar ini. Apa ini? Mereka seperti artis yang sedang berdiri di karpet merah saja. Mana acara penghargaannya? Mana piala penghargaannya? Ah, sudahlah mungkin ini yang dimaksud Jamal banci kamera, gumam pemuda ini. 

Rupanya pemugaran gedung tua ini yang sebenarnya hanya sebuah dan disulap pemerintah daerah menjadi kembar memiliki daya tarik tersendiri. Bukan hisapan jempol bila seseorang yang mau keluar kota dengan menggunakan kereta pasti akan terpusat pandangannya kepada kedua bangunan itu. Ya, karena stasiun berada tepat di belakang kedua gedung tersebut. Bagi pendatang yang baru keluar dari stasiun pasti tidak akan menyianyiakan kesempatan langka ini, bertemu dengan si kembar.

Pemuda kurus itu masih terduduk sambil membenarkan gulungan tangan kemeja kotak-kotaknya yang berwarna merah berpadu dengan putih dan hijau. Ia melepas lelahnya seharian setelah melahap abis seperempat dari buku-buku sejarah yang tersedia di salah satu gedung kembar. Ya, gedung ini kini berfungsi menjadi perpustakaan kota. Ia mengucek-ngucek matanya yang sudah mulai agak kabur. Badan kurusnya pun ia rebahkan di tembokkan itu sambil memandangi langit sore kota. Lembayung pun kini mulai menampakkan wajahnya dengan anggun seburat samar kekuningan tua.

Monday, June 17, 2013

Just Say Hello

Lama sudah kiranya jemari ini tak mengetik lagi.

Sekedar kata halo dari saya yang tak lebih hanya seorang pemuda baru saja sembuh dari penyakitnya selama dua pekan lalu.

Tak banyak yang saya tulis kali ini. Karena rasa kaku mengetik kembali menjangkit saya.

Do'akan saja semoga dapat menulis cerita fiksi kembali seperti biasa.

Jujur saya hanya ingin berucap jagalah kesehatanmu, kawan. Sungguh mahal sehat itu dan saya merasakannya dua pekan lalu.

Berdiam diri tak bisa melakukan kebutuhan sendiri secara mandiri. Apa-apa harus minta tolong itu tidak mengenakkan, kawan.

Berdiam diri terbaring membuat saya buntu berimajinasi.

Saya harap kawan-kawan semua dalam keadaan sehat walafiat, aamiin.


>>>Segitu dulu salam saya untuk anda yang sehat<<<

Wednesday, May 29, 2013

Sekolah Menengah Atas-Ku : Badut-Badut Siap Pentas

Hari MOS pun berlanjut menjadi sebuah kisah yang sudah sepantasnya siswa baru melaluinya disebuah  sekolah baru. Kenyataan ini kami telan dengan berbekal segala peralatan dan persyaratan yang membuat kami terlihat seperti orang-orangan sawah. Coba lihat saja penampilan kami ini, sepatu kets bertali rapia dengan warna yang berbeda alias beda toko, merah dan kuning. Name Tag bertengger di leher kami yang terbuat dari karton warna merah putih dan tali kur, serta tersemat dengan apik foto masing-masing. Terselempang tas terbuat dari kantung keresek dan tali rapia merah menyilang di tubuh kami. Ini belum seberapa. Lihatlah tali-tali pita kuncir yang menggantung berbeda warna di rambut teman-teman perempuan kami. Kalau boleh saya umpamakan ini seperti tanaman hias yang sering ibu-ibu PKK buat di Balai Desa. 

Pagi itu saya merasa seperti badut yang siap pentas. Bayangkan setiap pasang bola mata dari dalam sampai depan gang tertuju pada -kami- saya dan Ivan teman sekampung yang bersekolah sama, karena penampilan kami tak lazim. Wajah kami nampak merah padam dan itu bukan mek'up. Itu merupakan rasa malu kami yang telah mendidih sampai ubun-ubun dan sudah tidak dapat dibendung. Sungguh konyol penampilan saya saat ini.

Wednesday, May 8, 2013

Cinta Udin Yang Karam

"Kandas sudah cintaku karam dipelabuhannya." keluh Udin pemuda yang baru saja ditolak cintanya. Wanita yang ia sukai kini telah memiliki pangeran impiannya. Lain kata wanita itu menyukai seseorang yang  itu bukanlah Udin. Pemuda yang baru duduk dibangku SMA kelas dua ini begitu menyukai sosok Amel. Ya, Amel seorang gadis yang berkulit putih langsat bagai nona-nona keturunan bule. Gadis ini begitu memiliki tempat dihati Udin. Kisah cintanya selalu kandas apabila Udin mengutarakan maksudnya, lebih dari teman.

Udin begitu menjaga perasaannya dihadapan gadis idamannya. Karena saking seringnya ia menjaga hati dan maksudnya, membuat penantian ini begitu berat. Maklumlah antara Udin, Amel dan seseorang itu saling tak mengetahui perasaan masing-masing. Apa boleh buat cinta segitiga yang saling tak berbalas dan saling tak tahu isi hati  ini begitu terpelihara sejak duduk dikelas satu. 

ATM Dan Tanggal Lahir Yang Terlupa

Malam itu disalah satu bilangan daerah Purwakarta, satu keluarga sedang menikmati liburan. Malam dimana ke-esokkan harinya adalah hari Ahad. Kawasan taman kota menjadi pilihan mereka untuk berjalan-jalan menapaki lingkaran kolam besar bernama Situ Buleut itu. Dengan wajah penuh berbinar memandangi riak air yang memenuhi kolam itu. Sang ayah mengajak keluarganya yang terdiri dari seorang istri dan seorang putri sedang dalam masa berpertumbuhan. Mereka pun terduduk dengan nyaman dibangku taman yang tersedia sambil menikmati pemandangan yang ada dihadapannya; lampu taman, kilau air, bias-bias pepohonan yang samar terpantul cahaya, serta keramaian car free night.

Keluarga kecil ini begitu menikmati suasana. Mereka menikmati pemandangan ini sambil memakan makanan ringan hasil buah rengekkan putrinya. Sekantung popcorn begitu cukup menemani suasana yang tak didapat dirumah mereka, dipeloksok sana. Sang putri begitu sumringah dengan ajakkan orang tuanya kali ini. Walau hanya sebulan sekali, namun cukup membuatnya senang dan dapat menjadi bahan cerita untuk diceritakan kepada teman sebayanya.

Friday, May 3, 2013

MayDay Sepuluh Menit Lalu



MayDay, hari itu telah berlalu sepuluh menitan yang lalu. Dimana kaki saya menjejakkan lagi di Ibu kota ini. Langit pun telah kembali kelam, malam. Teriakkan mereka tak lagi terdengar bingar. 

Mereka, anda, saya dan kita semua telah terbaring lelap melupakan harapan yang masih menggantung. Bila ada super hero diantara kita saya yakin dia sedang tertidur lelap, kawan. Sudahlah biarkan gulita mendekap kita hingga subuh tiba.

Monday, April 29, 2013

Selokan dan Perahu Kertas

Selokan, Ya sebuah jalur pembuangan yang ada diperumahan atau permukiman. Maksudnya pembuangan limbah air rumah tangga. Pengalaman saya dengan jalur pembuangan yang bernama selokan cukup mempunyai tempat. Masih ingat dengan perahu-perahuan terbuat dari kertas atau bahan material yang lainnya?

Saya selalu terkesan dengan permainan ini. Ya, antara perahu kertas dan selokan depan rumah. Saya dan teman sebaya sewaktu kecil dulu begitu gemar memainkannya selepas pulang sekolah. Riak ombak kecil khas selokan membawa hanyut perahu-perahuan kami menuju hilirnya di ujung gang sana. Tak ayal bila sorak sorai kami merayakan kegembiraan soal perahu-perahu yang melesat lancar terbawa arus menjadi tontonan mengasikkan.

Wednesday, April 24, 2013

Kicauan Tanpa Batas



Twitter, media sosial yang lagi digandrungi. Bukan hanya anak muda-mudi, kakek-nenek juga sekarang sudah memiliki akun pribadi disini. Bisa-bisa para kakek dan nenek sudah siap memberikan warisan dengan berupa akun twitter ber-follower puluhan juta orang. Media sosial yang satu ini bukan hanya dari rentan usia saja bisa dijadikan taraf ukur penggunanya. Ya, profesi pun bisa menjadi bahan pendekatannya. Yang mudah kita mulai dari Mamang-Mamang tukang somay sampai seorang Presiden pun sekarang sudah punya akun dimedia sosial ini.

Coba mari kita lihat apa fungsinya dari setiap pendekatan sesuai usia dan profesinya ini. Oh ya, analisis ini seadanya saja atau bisa dibilang penilaian pribadi saya. Dimulai dari yang termuda, Muda-mudi biasanya memanfaatkan twitter sebagai media curhat, numpang eksis, dan sarana pergaulan. Gak perlu contoh ya? Sebab bila dikasih contoh bisa jadi semua tulisannya berbau dengan bahasa baru di Indonesia, 4l4y. Tidak bisa dipungkiri bahasa-bahasa 4l4y sudah memasyarakat dan itu menjadi salah satu muatan lokal dikalangan generasi muda bangsa ini, mungkin?

Monday, April 15, 2013

Biasakan Akrobat Pada Tempatnya.....

Entah mengapa saya selalu menemui hal yang cukup menarik ketika Pagi. Saat dimana awal pemberangkatan saya menuju tempat yang bernama kantor. Kali ini saya tidak akan menceritakan opini saya tentang tembakau atau pun tentang yang namanya lemon tea. Dua hal yang saling berseteru dalam hal selera saya. Sahabat Budiman pun sudah tahu mana yang saya tidak suka dan mana yang saya suka.

Ok, kembali lagi soal perjalanan saya dengan sepeda motor bebek cap sayap angsa sepotong. Kami melewati lampu merah dan itu biasa. Kami melewati rel kereta api setra portalnya itu pun biasa. Kami lewati pusat pertokoan yang gedong itu pun biasa saja. Kami melewati gedung-gedung sejarah itupun sudah  biasa. Kami melewati tukang surabi, kupat tahu, baso urat, kue onde, cakwe, dan tukang-tukang alias Mamang-Mamang lainnya itu pun biasa saja.

Tapi kali ini saya sempat tergiur oleh kepulan bala-bala, gehu, dan tempe tepung goreng. Nyam nyam. Maklum pagi ini saya tak sempat untuk sarapan. Kalau urusan tukang gorengan memang sulit dihindari. Mungkin ini kebiasaan yang terbawa dari rumah. Setiap pagi kalau dirumah pasti saja ada ibi-ibi yang datang menjajakkan jualannya, gorengan. Memang spesial gorengan dimata saya. Ibarat gehu, gorenganlah lauk cemilan yang juara saat-saat pagi menjelang. Maaf kalau gak nyambung perumpaman saya yang satu ini. :)

Thursday, April 11, 2013

No Smoking...!

Rokok sesuatu yang berbahan baku tembakau. Penduduk Indonesia sebagian besar memang perokok. Hingga dijuluki surganya rokok, itu kata peneliti orang luar sana. Tapi saya agak miris juga ngeliat tayangan hasil penelitinya. Sampai-sampai anak kecil dibawah umur menghisap rokok sudah seperti mengenyot permen lolipop saja.

Saya juga sering berpendapat apa enaknya makan asap? Mana mengkonsumsinya saja sudah sulitnya bukan main. Pertama kita harus beli rokok dengan harga yang gak bersahabat, ke-dua kita harus membeli alat bantu lainnya yaitu korek, ke-tiga asapnya itu bikin mata kelilipan dan memerah, ke-empat panasnya bara yang lama-lama makin mendekati apitan jemari tengah dan telunjuk bikin melepuh, ke-lima efek samping yang mengorbankan organ dalam alias bermain dengan maut.

Sudahlah lupakan asap tembakau itu. Walau saya orang sunda yang kata orang Indonesia lainnya terkenal dengan doyan lalab-lalaban, tapi saya gak suka dengan lalab tembakau kering yang dibakar itu. Jujur gak enak menghisapnya. Membuat batuk saya yang sebenarnya sudah gak kambuh bisa jadi kambuh seberat-beratnya.

Kayaknya lebih enak membiasakan hidup tanpa asap rokok. Lebih segar dan menyehatkan. Lebih baik rajin berolahraga dan makan makanan yang bergizi ala tempo 90-an dulu, 4 sehat 5 sempurna. 

>>>Selamat hidup sehat dan hindari asap rokok, sodara-sodara<<<


Tetesan itu...

Hujan. Se-umpama air yang turun dari awan itu kering sebelum sampai ke permukaan bumi karena penguapan ekstrim apa jadinya? Tandus. samudera pun akan hilang dan berganti dengan padang gurun raksasa. Kehidupan?

Hm, benar-benar peristiwa yang begitu dinanti saat kemarau berkepanjangan di negara dua musim ini. Bila melihat hasil kerja dari hujan maka akan banyak yang dibahas, salah satunya lemon tea. Lemon tea menjadi cairan yang menghibur bagi saya ketika sedang buntu dalam berpikir. Atau secangkir teh full cream yang melumerkan bongkahan bingung menjadi inspirasi yang mengalir. Namun tak terasa bobot badan pun semakin deras. Kurang dari setahun sudah menghilangkan otot-otot yang merapihkan bentuk perut, hm.

Friday, April 5, 2013

Kabar Pagi ini

Maaf bila kata pagi saya gunakan kembali. Ya, pagi ini saya mendapatkan sebuah berita yang kurang sedap didengar. Kabar ini tersampaikan melalui HP saya. Rupanya Mama (Sebutan saya kepada Ibu) meminta saya untuk pulang. Ini bukan karena Mama sakit atau kakak sulung saya akan segera melangsungkan pernikahan dengan mendadak. Tapi ini karena ada berita duka. Salah Seorang Eceu (Kakak perempuan dalam sebutan sunda) masuk rumah sakit.

Saya percaya akan kekuatan do'a. Karena manusia mulia seantero dunia -Muhammad Saw- pernah mengutarakan, bahwasannya kekuatan seorang muslim adalah do'a. Saya berharap kepada para pembaca semua dapat mendo'akan Eceu saya agar dapat beraktivitas kembali seperti semula dan tentunya semoga sakitnya ini menjadi penggugur dosa beliau. 

Sungguh saat ini saya tidak dapat menulis dengan banyak. Tulisan ini teruntuk beliau yang sedang sakit disana.[]

>>> Selamat beraktivitas dan jangan lupa berdo'a, Kawan.<<<


Thursday, April 4, 2013

Cinta Ibu Begitu......

Pagi tadi entah apa yang menjadi saya harus menulis tulisan ini. Saat berangkat kerja menjadi hal yang biasa pada hari-hari biasanya. Namun entah kali ini terasa berbeda. Berawal dari lampu merah yang menyetop laju sepeda motor bebek kumal saya akibat sisa hujan kemarin. Tepat disisi sebelah kanan depan ada sebuah motor bebek yang ditunggangi oleh satu keluarga. Sang ayah tentunya yang mengendarai motor tersebut, sang ibu terduduk dengan apik sambil menyusui anak keduanya yang masih batita, dan si kakak dengan anteng didepan sambil terduduk jongkok pegangan tangan pada stang motor dalam dekapan sang ayah.

Potret ini mungkin sudah lumrah bagi saya, dan sahabat sekalian. Ini sebuah pemandangan yang tak asing didalam kondisi kehidupan urban. Namun yang saya takjub hal ini tak mudah untuk dilakukan, mereka melakukannya dengan sebuah kerjasama yang sangat baik. Bukan hanya kerjasama saja yang terjadi disana, namun ada unsur kimiawi hadir disana. Coba kita lihat secara seksama bagaimana sang batita begitu dengan santai dalam dekapan sang ibu. Dia begitu menikmati perjalanan ini, padahal disekelilingnya begitu riskan dan amat berbahaya. Bila kain gendongan sang ibu lepas apa jadinya. Cintalah yang membuat sang batita merasa nyaman. Oh ya, saya bukan menyarankan untuk melakukan hal yang sama. Tapi saya melihat sisi lain dari adegan akrobat ini.

Friday, March 29, 2013

Ban dan Profesi barunya

Hari Sabtu, pukul 16.30 WIB; 

Roda ban sepeda motor bebek merk satu sayap angsa ini berputar melawan arus waktu. Suasana saat itu begitu gelap mencekam. Hutan pinus khas Gunung Tangkuban Perahu begitu membisu ditengah deras hujan yang tumpah. Jas Hujan yang dikenakkan sudah tak sanggup menahan benturan air dari langit sana. Samar-samar lampu sorot seadanya dari pabrikkan si motor ini pun tak sanggup membelah kegelapan.

Tiba-tiba terasa ada yang berbeda dari laju kendaran tua ini. Kali ini terasa tak selincah biasa, sedikit ada gerakkan lain dari putaran ban belakang. Sempat saya berpikir, apa karena stamina ban belakang yang sudah tak semuda dulu? Ataukah ada ulah tangan jail yang menyebar paku-paku berkarat dijalanan? Tapi itu saya belotkan saja pada terkaan yang pertama. Sambil mengusap lampu sorot terhalang dedaunan yang menempel tertebak angin saya bergumam, terimakasih Sobat, kiranya kau telah lelah biarkan aku yang sekarang menuntunmu.

Pilihan untuk berjalan kaki bukan sesuatu hal yang saya pilih saat itu. Perjalanan pun saya teruskan hingga titik habis udara ban belakang. Kali ini tanjakkan terakhir harus bisa ditaklukkan, karena ini bukan pilihan demi memenuhi ketergesah-gesahan saya. Hingga titik dimana turunan itu telah terlihat,walau sesekali kabut dan deras hujan menghalangi. Plang berwarna hijau dan bertulisan putih sudah cukup membuat saya merasa manusia yang paling beruntung saat itu. Artinya, plang penunjuk arah itu telah memberi berita turunan akan segera menghibur ketergesahan ini.

Tikungan-tikungan curam saya lewati dengan ban belakang yang mulai mengempis dan disertai bunyi klakson kencang, padahal sebenarnya itu adalah rem belakang haus. Kira-kira bunyinya seperti rem pada sepeda gunung. Mungkin karena saya termasuk orang yang menganut pribahasa, "Sambil menyelam minum air sampai kembung." 

Memang kawan, tikungan-tikungan curam dan licin itu dapat saya lalui. Namun perjalanan menjadi lebih sedikit gaduh dan tensi horor berkurang. 

Putaran roda belakang sekarang sudah mulai sempoyongan tak karuan. Untung saja permukiman sudah saya sambangi. Tepatnya dibilangan Ciater. Perlahan jalan motor bebek ini. Sembari mengedarkan pandangan kiranya ada tabung gas yang mirip Black Box tergeletak dibahu jalan. Syukur Alhamdulillah, yang dicari ketemu. Letaknya satu atap dengan pangkalan ojek depan sebuah Spa yang tenar. "Mang, ini ban bocor euy." curhat saya. Dengan sigap sang Mamang tambal ban merawat ban yang cedera.

Hampir 15 menit sudah menunggu rupanya perawatan sang ahli ban belum kunjung kelar. "Allahu Akbar......" Suara adzan  Maghrib berkumandang. 

Saya kira ini ibarat terhimpit waktu. Akhirnya saya putuskan dengan kondisi yang darurat ini shalat dalam posisi terduduk sembari menunggu ban belakang tertambal. Setelah khatam menunaikan kewajiban nampaknya belum juga ada gelagat akan beres operasi ban ini. Disaat itu saya coba cairkan suasana seperti cairnya hujan. "Mang, bocornya banyak yah?"

"Iya A. Lumayan ada dua. Tapi gak ada pakunya, A." jelasnya. Kemudian saya terangguk dan kemudian diam kembali.

Tuesday, March 19, 2013

Soto Ayam Untuk Sarapan Pagi Kali ini

Dua pekan sudah saya bergelut di ibu kota Jawa Barat, Bandung. Maka kepulangan saya untuk saat ini tiada lain untuk melarutkan rindu yang sudah mulai menggumpal didada. Rindu kepada keluarga disana itu sudah pasti, rindu dengan suasana rumah dan makanannya itu hal yang sulit dilupakan. Tapi untuk saat ini saya pulang ada misi lain. Ya, misi lain. Mungkin ini tanpa mengurangi rindu-rindu sebelumnya. 

Menikmati suasana dibilangan jalan R.E. Martadinata yang teduh rindang pohon-pohon besar sepanjang trotoar dekat kampus SMA saya dulu. Lantas Situ Bulet menjadi kunjungan selanjutnya. Nampak beda kolam ikan raksasa ini. Taman-taman kota begitu asri dan ada puluhan burung dipenjara disana demi menghibur warga disekitar.

Ah, memang Situ ini begitu menghibur. Sejauh mata memandang kursi-kursi taman penuh oleh pengunjung yang berbagai status. Ya, berbagai status; pacar, suami, istri, anak, teman, paman, bibi, kakek, nenek, tukang dagang gulali, tukang baso, tukang warung rokok, tukang balon gas, penjual lumpia basah. Kompleks juga ternyata status mereka, kawan. :)

Tuesday, March 12, 2013

Kelas 3A Dan Piagam Penghargaan

Saat itu Acil yang mulai menginjak ABG menyusuri jalur selokkan yang sudah lama mengering dan tak berfungsi sebagaimana mestinya. Jalan raya seadanya alias aspalan yang sudah memborok lubang kronis ia jalani dengan riang. Sesekali suara khas sungai yang mulai mengering mengiringi perjalanannya dari sebelah kiri sudut matanya sana. Bahkan burung -kapinis- sebutan orang lokal untuk burung yang masih sanak famili dengan walet ini, meliuk-liuk pagi buta di udara.

Acil pagi itu begitu memburu kepagian. Langkahnya yang riang namun lebar-lebar membuat tukang bubur ayam kalah cepat bersama gerobaknya. Tas slempang yang ia kenakkan terjedut-jedut di belakang langkahnya. Sisiran rambutnya masih tetap menyamping kanan klimis mengandung minyak rambut urang-aring pemberian sang Emak. Matanya terus saja tertuju pada jalur selokkan yang tak bersari pati itu kecuali kalau sedang hujan. 

Pemuda ABG ini masih terus menjaga nafas dan langkahnya yang panjang itu. Pakaian seragam putih dan bercelana biru pendek yang kalau kebanyakkan temannya bilang, "Celana Sontog Akherat". Ya, penjulukkan ini karena panjang celana tak melebihi lutut kakinya. Sebab celana yang sedang musim atau bisa dikatakan sedang trend-nya saat itu, celana yang panjangnya melewati lutut para siswa putra. Tapi trend itu tak berpengaruh bagi sosok pemuda ABG bungsu ini, Acil.

Sesampai digedung kampus sekolah menengah pertamanya yang bercatkan selaras dengan warna seragamnya, ia bergegas memasuki ruangan kelas yang bertuliskan "3 A" di plang depan pintunya. Ia taruh tas slempang dan topi upacaranya disorog kolong meja duduknya. Lantas ia pandangi seksama cat ruangan kelasnya yang sudah berganti warna biru langit hasil kerja bakti teman sekelas, Ahad kemarin. Pot-pot bunga berjajar dengan rapih di kusen-kusen jendela, foto-foto pejuang terpampang dengan apik didinding-dinding kelas, dan tentunya meja guru yang telah terbalut oleh taplak bermotif kembang merah menyala tepat didepan meja duduknya.

"Semoga jadi juaralah!" gumamnya dalam hening. 

Monday, March 4, 2013

Ikus dan Ketupat sayur Padangnya

Berawal kisah dari sebuah mobil bus dalam kota, Damri. Pemuda asal Jawa Timur ini meniti pendidikan kejenajang yang lebih tinggi. Saat itu tepat pukul 06.00 am atau jam pagi maksud saya jam enam pagi. Laju jalan bus yang sudah sepuh ini begitu nampak ramah dengan santainya membuat pemuda ini takjub dengan situasi urban dikota yang sedang ia susuri ini.

Entah bagaimana ceritanya pemuda ini berpikiran bahwasannya Bandung menjadi pilihannya untuk menuntut ilmu di jenjangnya pasca SMA. Selepas jam di HandPhone-nya sudah menunjukkan pukul 07 pagi ia telah sampai di pull bus ringkih ini. Ya, tepat di depan Universitas yang dia maksud, sebuah kampus negeri di Kawasan Dipati ukur. Berbekal tas gendong yang berisikan berkas-berkas untuk daftar ulang, dia penuh optimis. "Aku neng kene, bakal sukses." ujarnya dalam hati. Namun semangatnya tak dibarengi dengan isi perutnya yang sudah mulai keroncongan, maklumlah perjalanan jauh dari karawang menuju kampus ini cukup membuat sarapan subuh tadi cepat punah. Ia putuskan untuk membeli sepiring porsi kupat sayur padang yang tak jauh dari pemberhentiannya. Pemuda ini pun memesan apa yang ia lihat itu, demi mendiamkan sejenak organ isi perutnya yang bernama lambung. "Mas, saya pesen satu porsi yo?" pesannya.

Baru beberapa detik ia rebahkan pinggangnya sejenak, pesanan pun sudah didepan mata terhidang. Kontan saja ia begitu lahap menyantap kupat sayur khas Padang itu. Kenikmatan pun di bayar dengan teriakan alaram jam yang di tunjuk-tunjuk oleh handphone-nya sudah tidak dapat berkompromi, sebab batas pengumpulan berkas itu tepat jam 7.30 WIB. Langkahnya bergegas berlari meninggalkan piring bekasnya, kursi duduknya, dan uang ribuan yang berjumlah lima lembar serta bertutur, "Terima kasih Mas..."

Sesampainya di depan registrasi tepatnya di Aula serba guna milik universitas itu. Dia di pandu oleh kakak-kakak kelasnya. Hingga tibalah ia di sebuah pendopo dekat masjid Kampus.
 "Namanya siapa?" tanya seorang kakak kelas yang aktif di masjid.
 "Nama ku Ikus, Mas."
 "Ikus?"
 "Ngge, Mas." tembalnya.
 "Waduh nama kamu kok asing yah, kamu asal flores yah?" tanya sang kakak kelas.
"Bukan, Mas. -Ikus-, Ika Kusuma. Saya asli dari Banjar Negara. Produk Lokal, Mas." tegasnya.
"Ow, maaf ya saya baru dengar nama kamu tuh ternyata punya orang jawa juga yah."

Kemudian mereka pun meneruskan interview itu dan dipenghujung pembicaraan tiba-tiba pemuda ini memberikan surat yang dititipkan dari seorang guru dari SMA-nya. Ya, guru yang telah memberikan mandat melalui surat itu. Dalam amplop itu terlihat samar kalimat-kalimat serius untuk menitipkan pemuda ini.
"Mas ini, saya disuruh menyampaikan surat ini dari guru saya waktu di SMA. Kata beliau, tolong disampaikan ke kakak kelas yang mengurusi masjid." ujarnya sambil menyerahkan surat wasiat itu dengan polosnya. Tanpa ada kata sang senior menerimanya.

Hari-hari pun ia jalani dikampus barunya. Semakin lama lingkup pergaulannya berkembang hingga ke kampus negeri seberang. Jadwalnya pun kian lama kian padat di kota ini. Bukan melulu urusan perkuliahan saja, namun hingga kegiatan kemahasiswaan pun ia cantumkan pada jadwal hariannya. Entah itu rapat, penyiapan acara, promosi kegiatan, hingga menjadi bagian panitia.

Hingga tercetus dalam pikirannya, "Aku sing bisa hafal khatamin Mushaf iki." Disela-sela kesibukkannya ia sempatkan untuk membaca dan mengulang mengingatnya.

Tiga tahun tak terasa masa menimba ilmu di kampus perjuangan ini. Sahabat dekat pun satu persatu telah mendahuluinya lulus dan kebanyakan memilih untuk kembali ke daerah masing-masing. Dengan tekad kuat ia pun berusaha menyelesaikan program diploma-nya dengan nilai yang cukup memuaskan. Alhasil pemuda ini lulus dan mengikuti jejak kawan-kawannya yang lain yaitu, kembali kedaerah asal.