Saturday, December 7, 2013

AKU SUNGAI



Malam ini takseperti malam-malam biasanya. Entah mengapa bisa terjadi? Seorang pemuda seperempat abad bergumam duduk termenung di atas bantaran sungai dekat tempat ia mengais rezeki. Bintang-gemintang takramah menampakkan wajahnya beberapa malam ini. Hanya riak arus sungai yang masih setia menemani lamunan sang pemuda sebagai ujung penghibur dikala letih. Walau sesekali buntalan-buntalan plastik sampah hanyut di sana. "Uh, muak aku melihat semua ini. Ibu kota macam apa ini? Tak-ada yang bisa dibanggakan sungainya." 

Sebotol minuman soda ia tenggakkan kembali untuk yang ke-tiga kalinya, hingga setengah botol yang bersisa. Sambil sesekali ia menendang-nendang batu kerikil ke tengah sungai, bak pemain bola yang sedang berlatih tendangan jarak jauh. "Kenapa dengan semua ini?" Tanyanya resah sambil menarik napas dan menghembuskannya kembali.

Gedung-gedung bertingkat masih berdiri angkuh berjajar di hadapannya. Lampu-lampu itu begitu mewah terpandang dari sudut mata pemuda ini. Kemudian menenggak kembali botol digenggamannya dan menghabiskannya. Meremasnya. Berteriak dalam batin, "Ya, Tuhan ada apa denganku?"

Adib. Ya, pemuda seperempat abad ini bernama Adib Saeful Rizal. Ia berasal dari sebuah kampung cukup terpencil dan jauh dari akses jalan. Apabila ia membandingkan fasilitas sarana umum di hadapannya kini dengan kampungnya sungguh seperti 'bumi dan langit'. Listrik pun belum masuk di sana, jalan-jalan sudah cukup nyaman bagi penduduk setempat yang hanya terbuat dari jejeran batu hasil swadaya masyarakat tanpa lapisan aspal hitam mulus. Teve? Jangan kau tanya soal alat elektronik macam di ibu kota. Di sana barang mewah dan canggih hanyalah radio bertenaga bantu batu baterai. Dan itu hanya Pak Haji Sobur yang memilikinya, juragan kayu.

"Tuhan hamba belum dapat membahagiakan orang tua hamba." Untaian do'a terlantun lirih dan berbisik. Memang gaji seorang kuli bangunan belum dapat mencukupi kebutuhan hidup Adib dan orang tuanya di kampung.