Tuesday, September 25, 2012

Mona Lisa Suka Padanya....

Siang ini begitu teduh diguyur hujan sedang, dimana saat aku membuka lembar demi lembar buku bacaan yang sedang inginku khatamkan ini. Berteduhkan atap dari anyaman tanaman padi yang telah menguning terpanen, disaung dekat pohon mangga depan halaman rumah. Aku meneguk kisah dari setiap paragraf sang penulis ceritakan. Dalam sunyi dan belaian halus angin yang berhembus di antara sela air hujan, aku begitu khusyuk menikmati suasana ini, tiba-tiba terkoyak-koyak suasana nyaman itu setelah seorang pria dari ujung gang menghampiriku, “Woi, Pit ieu kuring………….[0]”

Suara nyaring itu begitu tak asing bagi ku namun sedikit me’dok aksen jawa. Ya, dialah Suryana, atau sering dipanggil orang sekampung -Yana Bageur-. Ia merupakan pemuda yang baik dan sopan. Pendidikannya memang tak tinggi, hanya tamatan SMP saja, tapi dengan sederet talenta alaminya, dia menjadi sesosok pemuda yang cukup berhasil mengarungi kerasnya kehidupan ini. Dan aku sebagai sobat sedari orok begitu bangga dengannya.

“Woi, Yan……?” sahutku sambil melambaikan tangan menyambutnya.

“Ti mana Euy….?[1]” Tambahku sambil berteriak. Sesampainya sosok yang begitu bersemangat ini di hadapanku, ia pun tersenyum dan menjawab pertanyaanku tadi, “Alhamdulillah, Pit. Kuring teh ayeuna tos damel.[2]” 

Yana begitu bersemangat menceritakan pengalamannya merantau selama satu tahun tujuh bulan ini. Begitu sepi kampung ini, karena kebanyakan dari pemudanya merantau, termasuk aku. Inilah pertemuan pertama kami untuk satu tahun tujuh bulan tak saling bersapa. Yana pun bercerita bahwa ia diterima kerja disalah satu perusahaan terkemuka di Semarang, sebagai seorang tenaga administrasi. Ia pun menceritakan kelancaran kerjanya, karena tak perlu waktu lama baginya untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai orang yang berkompeten diperusahaan, hanya dalam tempo satu tahun ia sudah dipromosikan menjadi Assisten Manager.

“Wah hebat euy di dinya, Yan.”

“Ya, Alhamdulillah, Pit.” begitulah Yana dari dulu selalu rendah hati.

“Seneng atuh nyak damel teh?[3]”

“Ya, kitu weh Pit ari ngaran na damel mah.[4]” lihat dia menjawab kembali dengan santun.

“Tapi Pit, saya mah asa cangkeul di ditu teh.[5]”

“Naha make cangkeul, Yan? Ongkoh seneng.[6]” Aku telah berpikir ini pasti soal kerjaannya di ibukota provinsi tetangga yang ia ceritakan.

“Nyak euy, cangkeul teu bisa make bahasa sunda![7]” Aku terlihat bodoh di hadapanya setelah mendengar candaannya. Kontan kami berdua larut dalam gelak tawa, “hahahahahaha…..”

Ia pun menceritakan soal pengalamannya di awal tahun kedua ini, bahwa ia bertemu seorang gadis ayu asli produk lokal yang cukup mencuri perhatiannya selama perkenalan hingga saat ini (Suweeer deh, Yana bilang gitu).

Gadis ayu yang telah memborgol hatinya Yana ini bernama Wening. Bagaimana Yana tidak terpincut oleh gadis ini? Setelah aku melihat wajahnya di-wallpaper HP Yana yang sepertinya hasil jepretan curian ini begitu terlihat seperti lukisan ‘Mona Lisa’ yang terkenal karena senyumannya yang begitu anggun, tapi kalau aku bilang ini versi Wong Jowo-nya[8]. Kemudian Yana mempertegas  sosok anggun yang ada di HP-nya ini, “Wening teh sifat na lembut, terlihat pintar, mudah bergaul dan memiliki wajah yang khas alias geulis.[9]”

Namun sayang Yana merasa bahwa Wening terlalu "tinggi" buat dia, Yana pun urung mengutarakan rasa yang bergelayutan dihatinya pada Wening.

Enam bulan sekantor dengan Wening, membuat Yana cukup menyiksa perasaannya yang kian kuat, tapi apa daya untuk menyampaikannya malah menjadi salah tingkah. Saking salah tingkahnya Yana pernah terpegoki oleh Wening pada saat Yana curi-curi pandang ke wening dari meja kerjanya  sambil membaca Koran. Dan saat itu juga Wening menghapiri Yana dan berucap sambil membenarkan posisi koran, “Mas Yana hebat yah, baca koran kok bisa terbalik gitu yah?” Alhasil wajah Yana merah padam.

Disaat Yana sudah mulai terbiasa untuk menyembunyikan perasaanya dengan kehadiran Wening di hari-hari kerjanya, terdengar kabar bahwa Wening akan keluar dari kantor untuk melanjutkan study-nya keluar negeri. Kabar ini membuat Yana begitu sedih karena tak ada kesempatan lagi untuk melihat Wening dan merasakan degup jantung yang begitu bergelora disetiap harinya.

Singkat cerita, satu bulan setelah kepergian Wening, Yana mulai resah akan cinta senyap-nya takkan tersampaikan, karena tengah menuntut ilmu dinegeri orang sana. Ditengah kegalauannya tiba-tiba ada angin segar menghapiri berupa tawaran dari seorang senior untuk dikenalkan dengan seorang gadis kenalannya. Tapi dengan hormat, Yana langsung menampik tawaran dari seniornya itu. Tanpa basa basi Yana mengutarakan alasannya, bahwa dia agak sedikit kaku dengan cara perjodohan seperti ini.

Yana pun akhirnya memilih untuk mencari cintanya sendiri. Takdir mempertemukan Yana dengan Tiwi. seorang wanita karir yang dikenali Yana via Facebook. Setelah sekitar 2 bulan, berkomunikasi akhirnya Yana dan Tiwi sepakat untuk "kopi darat" atau ketemuan. Dari pertemuan itu, kemudian Yana yang berambisi untuk mengakhiri masa lajangnya lebih cepat, tanpa basa basi langsung melamar Tiwi, dan Tiwi pun tak kuasa untuk menolak lamaran Yana. Mereka pun bersepakat untuk meresmikan hubungan ini dihadapan kedua orang tuanya masing-masing, dan dicarikan hari baik untuk pernikahan. (Ckckckck, sedih bener ente Yan.)

Begitulah Yana menceritakan kisahnya selama perantauannya ini. Ia pun setelah panjang lebar bercerita memohon pamit langsung pulang, untuk mengutarakan maksudnya pulang kampung, yaitu meminta restu kedua orang tuanya atas hubungannya dengan Tiwi gadis ayu lokal lain yang membuat ia sedikit melupakan –Mona Lisa Wong Jowo- di negeri seberang sana.

***

Berselang beberapa minggu menjelang pertemuan akbar antara keluarga Tiwi dan keluarga Yana. Triono, senior Yana yang tempo hari mau mengenalkan dengan seorang gadis. Tiba-tiba menelpon Yana, “Halo, Assalamualaikum, dengan Yana?”

“Iya, Mas Tri. Ada apa nih?”  begitu panggilan Yana ke Triono

“Ini, tawaranku tempo hari masih berlaku loh.”

“Maksudnya, Mas?”

“Iya kamu mau gak saya kenalkan dengan Wening? Ituloh gadis yang saya tawarkan ke kamu. Soalnya dia sering nanyaiin kamu, Yan.” Yana tertegun mendengar ucapan Mas Tri. Bukan karena soal tawaran kenalannya tapi karena ada sebuah nama yang ia kenali. Ya, “Wening” gadis yang telah membuat hatinya gundah selama Enam bulan yang lalu.

“Maaf Mas, Wening?”

“Iya Wening partner kerjamu yang keluar negeri itu loh.” 

Entah mengapa sepertinya Yana serasa terbuka kembali ingatannya tentang Wening yang serupa Mona Lisa menawan, koran yang terbalik dihadapan Wening, Senyum lembutnya Wening, dan tawa renyahnya begitu tergambar dengan jelas. Namun tiba-tiba bayangan senyum hangat Tiwi hadir di antara senyum dan tatapan bayangan Wening, rasa-rasanya Yana ingin membenamkan kepalanya ke tanah seperti burung unta yang ketakutan. Dengan terbata Yana menjelaskan keadaanya sekarang ke Mas Tri, “Mas, ma-af-kan sa-ya, sa-ya du-a ming-gu la-gi ma-u me-lang-sung-kan per-ni-kah-an sa-ya de-ngan Ti…..” begitu berat Yana mengucapnya, dan ia meneruskannya dengan sekuat tenaga, “Ti-wii tu-na-ngan sa-ya.”

Dari seberang sana Mas Tri hanya bisa terdiam dan menghelakan nafas panjang. Dan Mas Tri mencoba melanjutkan pembicaraan dan sekaligus mengakhiri sambungan jarak jauh ini dengan berucap, “Maafkan saya, Yan. Tut tut tutt tutttt”

Dalam diam Yana yang periang itu begitu layu tak bergairah, bagaimana tidak? Mas Triono baru mengutarakan wanita yang ingin dikenalkannya itu adalah Wening, sang wanita yang Yana diam-diam perhatikan, wanita yang begitu membuatnya asing dengan tingkahnya, wanita yang membuatnya cemburu diam-diam bila berdekatan dengan pria lain, wanita yang membuat dunia dan korannya terbalik. Ternyata selama Enam bulan terakhir diam-diam  Wening memiliki perasaan yang sama dengan Yana, dan meminta bantuan Triono untuk menjadi mediator. Selama ini Wening pun tersiksa dengan perasaannya, terbukti dengan nilai-nilai mata kuliahnya yang berantakkan. Begitulah Mas Tri menceritakannya ke Yana melalui pesan singkat selang satu menit dari pembicaraan jarak jauh tadi.

***

Yana pun tak ambil pusing, karena yang aku kenal dia adalah orang yang teguh pendirian dan mau mengambil resiko. Dengan sangat berat hati ia bercerita di ujung sambungan telepon sana, “Apa boleh buat, Pit. Nasi Sudah jadi Bubur, Nasir sudah jadi tukang Bubur. Biar hati saya teu jadi lebur, mending saya terima cinta wening biar gak kabur." Begitulah Yana di dua tahun kurang tiga bulan selama di Semarang. Dia memutuskan menunggu Wening selesaikan kuliahnya dan menjodohkan Mas Tri yang ternyata single dengan tunangannya. Ya, tepatnya mantan tunangannya, Tiwi gadis lokal yang sempat mengisi hatinya via facebook. “Tah Pit kitu euy kisah Cint tuttt tuttt tutttt……………………” tiba-tiba senyap.

Sesalku sambil garuk-garuk kepala, “Halahhh, LowBat[10] euy…”[]


[0] Woi, ini ane Pit....
[1] Dari mana nih?
[2] Alhamdulillah Pit, saya sekarang sudah kerja.
[3] Seneng dong kerjanya?
[4] Ya, gitu aja Pit. Namanya juga kerja.
[5] Tapi Pit, saya rada pegel disana.
[6] Kenapa kok pegel, yan. katanya seneng.
[7] Iya Nih, pegel gak bisa pake bahasa Sunda.
[8] Orang Jawa
[9] Cantik
[10] Baterai lemah

Categories:

0 Opini Pembaca:

Post a Comment

Komentar dan Opini Anda sangat membangun dalam pengembangan blog ini. Terimakasih atas partisipasinya.