Siang ini begitu
teduh diguyur hujan sedang, dimana saat aku membuka lembar demi lembar buku
bacaan yang sedang inginku khatamkan ini. Berteduhkan atap dari anyaman
tanaman padi yang telah menguning terpanen, disaung dekat pohon mangga depan
halaman rumah. Aku meneguk kisah dari setiap paragraf sang penulis ceritakan. Dalam
sunyi dan belaian halus angin yang berhembus di antara sela air hujan, aku
begitu khusyuk menikmati suasana ini, tiba-tiba terkoyak-koyak suasana nyaman
itu setelah seorang pria dari ujung gang menghampiriku, “Woi, Pit ieu
kuring………….[0]”
Suara nyaring
itu begitu tak asing bagi ku namun sedikit me’dok aksen jawa. Ya, dialah Suryana,
atau sering dipanggil orang sekampung -Yana Bageur-. Ia merupakan pemuda yang
baik dan sopan. Pendidikannya memang tak tinggi, hanya tamatan SMP saja, tapi
dengan sederet talenta alaminya, dia menjadi sesosok pemuda yang cukup berhasil
mengarungi kerasnya kehidupan ini. Dan aku sebagai sobat sedari orok begitu
bangga dengannya.
“Woi, Yan……?”
sahutku sambil melambaikan tangan menyambutnya.
“Ti mana Euy….?[1]”
Tambahku sambil berteriak. Sesampainya sosok yang begitu bersemangat ini di
hadapanku, ia pun tersenyum dan menjawab pertanyaanku tadi, “Alhamdulillah, Pit.
Kuring teh ayeuna tos damel.[2]”
Yana begitu
bersemangat menceritakan pengalamannya merantau selama satu tahun tujuh bulan
ini. Begitu sepi kampung ini, karena kebanyakan dari pemudanya merantau,
termasuk aku. Inilah pertemuan pertama kami untuk satu tahun tujuh bulan tak
saling bersapa. Yana pun bercerita bahwa ia diterima kerja disalah satu
perusahaan terkemuka di Semarang, sebagai seorang tenaga administrasi. Ia pun
menceritakan kelancaran kerjanya, karena tak perlu waktu lama baginya untuk
menunjukkan kapasitasnya sebagai orang yang berkompeten diperusahaan, hanya
dalam tempo satu tahun ia sudah dipromosikan menjadi Assisten Manager.
“Wah hebat euy
di dinya, Yan.”
“Ya,
Alhamdulillah, Pit.” begitulah Yana dari dulu selalu rendah hati.
“Seneng atuh
nyak damel teh?[3]”
“Ya, kitu weh
Pit ari ngaran na damel mah.[4]” lihat dia menjawab kembali dengan santun.
“Tapi Pit, saya mah
asa cangkeul di ditu teh.[5]”
“Naha make
cangkeul, Yan? Ongkoh seneng.[6]” Aku telah berpikir ini pasti soal kerjaannya
di ibukota provinsi tetangga yang ia ceritakan.
“Nyak euy,
cangkeul teu bisa make bahasa sunda![7]” Aku terlihat bodoh di hadapanya
setelah mendengar candaannya. Kontan kami berdua larut dalam gelak tawa,
“hahahahahaha…..”
Ia pun
menceritakan soal pengalamannya di awal tahun kedua ini, bahwa ia bertemu
seorang gadis ayu asli produk lokal yang cukup mencuri perhatiannya selama
perkenalan hingga saat ini (Suweeer deh,
Yana bilang gitu).
Gadis ayu yang
telah memborgol hatinya Yana ini bernama Wening. Bagaimana Yana tidak terpincut
oleh gadis ini? Setelah aku melihat wajahnya di-wallpaper HP Yana yang sepertinya hasil jepretan curian ini begitu
terlihat seperti lukisan ‘Mona Lisa’ yang terkenal karena senyumannya yang
begitu anggun, tapi kalau aku bilang ini versi Wong Jowo-nya[8]. Kemudian Yana mempertegas sosok anggun yang ada di HP-nya ini, “Wening
teh sifat na lembut, terlihat pintar, mudah bergaul dan memiliki wajah yang
khas alias geulis.[9]”
Namun sayang Yana merasa bahwa Wening terlalu "tinggi" buat dia, Yana pun urung mengutarakan rasa yang bergelayutan dihatinya pada Wening.
Enam bulan
sekantor dengan Wening, membuat Yana cukup menyiksa perasaannya yang kian kuat,
tapi apa daya untuk menyampaikannya malah menjadi salah tingkah. Saking salah
tingkahnya Yana pernah terpegoki oleh Wening pada saat Yana curi-curi pandang
ke wening dari meja kerjanya sambil
membaca Koran. Dan saat itu juga Wening menghapiri Yana dan berucap sambil
membenarkan posisi koran, “Mas Yana hebat yah, baca koran kok bisa terbalik
gitu yah?” Alhasil wajah Yana merah padam.
Disaat Yana sudah
mulai terbiasa untuk menyembunyikan perasaanya dengan kehadiran Wening di
hari-hari kerjanya, terdengar kabar bahwa Wening akan keluar dari kantor untuk
melanjutkan study-nya keluar negeri. Kabar ini membuat Yana begitu sedih karena
tak ada kesempatan lagi untuk melihat Wening dan merasakan degup jantung yang
begitu bergelora disetiap harinya.
Singkat cerita, satu
bulan setelah kepergian Wening, Yana mulai resah akan cinta senyap-nya takkan
tersampaikan, karena tengah menuntut ilmu dinegeri orang sana. Ditengah kegalauannya
tiba-tiba ada angin segar menghapiri berupa tawaran dari seorang senior untuk
dikenalkan dengan seorang gadis kenalannya. Tapi dengan hormat, Yana langsung
menampik tawaran dari seniornya itu. Tanpa basa basi Yana mengutarakan alasannya,
bahwa dia agak sedikit kaku dengan cara perjodohan seperti ini.
Yana pun
akhirnya memilih untuk mencari cintanya sendiri. Takdir mempertemukan Yana
dengan Tiwi. seorang wanita karir yang dikenali Yana via Facebook. Setelah
sekitar 2 bulan, berkomunikasi akhirnya Yana dan Tiwi sepakat untuk "kopi
darat" atau ketemuan. Dari pertemuan itu, kemudian Yana yang berambisi
untuk mengakhiri masa lajangnya lebih cepat, tanpa basa basi langsung melamar Tiwi, dan Tiwi pun
tak kuasa untuk menolak lamaran Yana. Mereka pun bersepakat untuk meresmikan
hubungan ini dihadapan kedua orang tuanya masing-masing, dan dicarikan hari
baik untuk pernikahan. (Ckckckck, sedih bener ente Yan.)
Begitulah Yana
menceritakan kisahnya selama perantauannya ini. Ia pun setelah panjang lebar
bercerita memohon pamit langsung pulang, untuk mengutarakan maksudnya pulang
kampung, yaitu meminta restu kedua orang tuanya atas hubungannya dengan Tiwi
gadis ayu lokal lain yang membuat ia sedikit melupakan –Mona Lisa Wong Jowo- di
negeri seberang sana.
***
Berselang
beberapa minggu menjelang pertemuan akbar antara keluarga Tiwi dan keluarga
Yana. Triono, senior Yana yang tempo hari mau mengenalkan dengan seorang gadis. Tiba-tiba menelpon Yana, “Halo, Assalamualaikum, dengan Yana?”
“Iya, Mas Tri.
Ada apa nih?” begitu panggilan Yana ke
Triono
“Ini, tawaranku
tempo hari masih berlaku loh.”
“Maksudnya,
Mas?”
“Iya kamu mau
gak saya kenalkan dengan Wening? Ituloh gadis yang saya tawarkan ke kamu.
Soalnya dia sering nanyaiin kamu, Yan.” Yana tertegun mendengar ucapan Mas Tri.
Bukan karena soal tawaran kenalannya tapi karena ada sebuah nama yang ia
kenali. Ya, “Wening” gadis yang telah membuat hatinya gundah selama Enam
bulan yang lalu.
“Maaf Mas,
Wening?”
“Iya Wening
partner kerjamu yang keluar negeri itu loh.”
Entah mengapa
sepertinya Yana serasa terbuka kembali ingatannya tentang Wening yang serupa
Mona Lisa menawan, koran yang terbalik dihadapan Wening, Senyum lembutnya
Wening, dan tawa renyahnya begitu tergambar dengan jelas. Namun tiba-tiba
bayangan senyum hangat Tiwi hadir di antara senyum dan tatapan bayangan Wening,
rasa-rasanya Yana ingin membenamkan kepalanya ke tanah seperti burung unta yang
ketakutan. Dengan terbata Yana menjelaskan keadaanya sekarang ke Mas Tri, “Mas,
ma-af-kan sa-ya, sa-ya du-a ming-gu la-gi ma-u me-lang-sung-kan per-ni-kah-an
sa-ya de-ngan Ti…..” begitu berat Yana mengucapnya, dan ia meneruskannya dengan
sekuat tenaga, “Ti-wii tu-na-ngan sa-ya.”
Dari seberang
sana Mas Tri hanya bisa terdiam dan menghelakan nafas panjang. Dan Mas Tri
mencoba melanjutkan pembicaraan dan sekaligus mengakhiri sambungan jarak jauh
ini dengan berucap, “Maafkan saya, Yan. Tut tut tutt tutttt”
Dalam diam Yana
yang periang itu begitu layu tak bergairah, bagaimana tidak? Mas Triono baru
mengutarakan wanita yang ingin dikenalkannya itu adalah Wening, sang wanita yang
Yana diam-diam perhatikan, wanita yang begitu membuatnya asing dengan
tingkahnya, wanita yang membuatnya cemburu diam-diam bila berdekatan dengan
pria lain, wanita yang membuat dunia dan korannya terbalik. Ternyata selama
Enam bulan terakhir diam-diam Wening memiliki perasaan yang sama dengan
Yana, dan meminta bantuan Triono untuk menjadi mediator. Selama ini Wening pun
tersiksa dengan perasaannya, terbukti dengan nilai-nilai mata kuliahnya yang berantakkan.
Begitulah Mas Tri menceritakannya ke Yana melalui pesan singkat selang satu
menit dari pembicaraan jarak jauh tadi.
***
Yana pun tak
ambil pusing, karena yang aku kenal dia adalah orang yang teguh pendirian dan
mau mengambil resiko. Dengan sangat berat hati ia bercerita di ujung sambungan
telepon sana, “Apa boleh buat, Pit. Nasi Sudah jadi Bubur, Nasir sudah jadi
tukang Bubur. Biar hati saya teu jadi lebur, mending saya terima cinta wening
biar gak kabur." Begitulah Yana di dua tahun kurang tiga bulan selama di
Semarang. Dia memutuskan menunggu Wening selesaikan kuliahnya dan menjodohkan
Mas Tri yang ternyata single dengan
tunangannya. Ya, tepatnya mantan tunangannya, Tiwi gadis lokal yang sempat mengisi
hatinya via facebook. “Tah Pit kitu euy kisah Cint tuttt tuttt tutttt……………………”
tiba-tiba senyap.
Sesalku sambil garuk-garuk kepala, “Halahhh, LowBat[10]
euy…”[]
[0] Woi, ini ane Pit....
[1] Dari mana nih?
[2] Alhamdulillah Pit, saya sekarang sudah kerja.
[3] Seneng dong kerjanya?
[4] Ya, gitu aja Pit. Namanya juga kerja.
[5] Tapi Pit, saya rada pegel disana.
[6] Kenapa kok pegel, yan. katanya seneng.
[7] Iya Nih, pegel gak bisa pake bahasa Sunda.
[8] Orang Jawa
[9] Cantik
[10] Baterai lemah
0 Opini Pembaca:
Post a Comment
Komentar dan Opini Anda sangat membangun dalam pengembangan blog ini. Terimakasih atas partisipasinya.