Wednesday, October 1, 2014

Dadah, Kebiasaan. Hallo Kebiasaan?

Pagi ini entah seperti ada yang hilang. Sebuah kebiasaan kini tiba-tiba takdilakukan karena magnet dari kebiasaan itu hilang. Mungkin Sahabat pernah merasakannya? Saya contohkan seperti anak 5 tahun yang terbiasa pagi-pagi sudah menyetel teve dan memilih acara tontonan siaran kartun kesukaanya dengan asik tiba-tiba saluran listrik mati, karena pemadaman bergilir. Sepertinya rasanya kecewa, marah, atau mungkin anak ini mau turun ke jalan dan melakukan aksi demo ke PLN bersama teman-temannya setontonan. Maaf kalau berlebihan.... :)

Tapi pada dasarnya kebiasaan itu berawal dari tidak adanya kebiasaan itu sendiri. Kebiasaan yang sebenarnya tidak ada pada awalnya. Bisa jadi sebelum ada filem kartun kesukaan anak itu, pagi harinya dia mungkin sedang bermain sepeda dengan teman sejawatnya atau aktivitas yang lainnya. Seperti saya, saya terbiasa menggunakkan telepon genggam pintar. Ya, sekedar mencari informasi di dunia maya dan silaturahim melalui obrolan media sosial. Tapi ketika si telepon genggam rusak, entah kenapa saya kembali ke kebiasaan lama yang sempat di tinggalkan. Menulis. Hingga tulisan gak penting ini tertulis....

>>> Selamat Pagi Kawan, Semoga Harimu diisi kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat... :) <<<

Picture from google

Wednesday, July 2, 2014

Speker Mushola Raib? part 1

Subuh, waktu-waktu dimana Kampung Babakan Caringin masih hening dan takseramai Pagi, Siang atau Sore. Jangan kau tanya soal Malam di sana, tentu saja diam, kawan. Hitungan ba'da Isya di sana sudah seperti permukiman takberpenghuni. 

Kampung yang memiliki hampir mencapai seratus kepala keluarga ini tak-ubahnya seperti desa pada kebanyakkan. Tentram, damai, sangat jauh dari kebisingan. Bukan begitu penilaian kalian tentang kami, kawan urban?

Entah bagaimana kisahnya, Subuh pada minggu ke-delapan saat kami baru saja pindah ke sana, ada sebuah kegaduhan yang amat sangat. Ya, kegaduhan. Ketika speker mushola dekat rumah raib diambil orang. Kontan Subuh itu tak-ada yang terbangun dan menyambangi mushola untuk beribadah. Entah apa modus pelaku melakukan ini. Banyak kesimpulan warga tertuju kepada soal ekonomi. Ya, ini pasti soal ekonomi. Kehilangan speker mushola sudah barang tentu kehilangan suara gemaan lantunan adzan Amang usse yang melengking. Bukan hanya kehilangan itu saja, tapi warga sesungguhnya kehilangan bel jam weker besar yang bernama speker mushola.

Hingga Pagi menjelang, berita Subuh tadi telah menjadi buah bibir. Dari satu bibir ke bibir lain, dari orang tua hingga bocah ingusan, dari kantor inti desa sampai rakyat jelata seperti Mang usse. Sungguh ini membuat stabilitas perekonomian dan politik di desa, bahkan sedesa di sana terganggu. Rumor ini menjadi berkembang menjadi taktentu arah alias sudah tak-otentik lagi. Sudah terlalu banyak bumbu-bumbu di sana-sini. Menurut para pengamat gosip di desa ini - Ceu Enih, rumor ini akan bertahan hampir tiga bulan terakhir kedepan.

Di toko kopi esok paginya,
"Jun, speker teh sudah ketemu? " Mang Bubun pemilik toko.


"Belum euy Mang. Gak tau belum ketemu siapa oknumnya? " Jujun menembal dengan nada lemas laiknya seseorang lalu patroli.


"Heran saya mah,  Jun. Speker mushola sampe dimaling segala! " Tegas Mang Bubun sang peracik cairan pekat nikmat itu. Junjun membalasnya dengan anggukan orang yang mengantuk. " Huyaaaa , jangan tidur didinya , Jun! "  Mang Bubun mengagetkan.


"Ngantuk euy Mang. Saya ngeronda semalem, huaaah . " Tembal Jujun dengan mata merahnya yang kurang tidur.


"Salut saya ke ente , Jun. Peduli ke lingkungan yang sedang tidak aman kayak gini. "


"Kalau gitu buatkan segelas kopi mantap gratisnya, Mang." Pinta Jujun dengan sedikit menyunggingkan senyuman negosiasinya. Mang Bubun pun memasang wajah masamnya sambil manyiapkan segelas kopi racikan saktinya. Ya, sakti. Sekali minum orang ngantuk langsung cenghar .


"Ni Jun." Mang Bubun sembari menyodorkan kopi. " Ngan besok-besok kudu bayar. Ini mah itung-itung saya menghargai ronda ente, Jun. " Lanjutnya.


Sambil tersenyum penuh bahagia ia pun bersahut sedikit menjilat, "Terimakasih Mang, memang Mamang baik na tiada duanya. " Tanpa menunggu dingin minuman di depannya, ia pun langsung menyasapnya bak penikmat kopi kelas wahid .


Obrolan pagi di warung mang Bubun pun mengalir begitu saja, semengalirnya kopi melewati kerongkongan Jujun yang kantuknya kambuh. Dan pengembangan kasus speaker mushola pun masih mengawang, semengawangnya pikiran Ceu Enih menyodok bumbu gosip kasus ini sedemikian rupa menjadi fenomenal. Sepertinya tiga bulan pasti akan tetap 'in' .



>>> To be continue :)

Thursday, March 27, 2014

Sir Eceng-gondok



Siang buta itu kampung BBC begitu sepi dan terlebih sedang musim kemarau. Urusan sumur-sumur kering sudah menjadi cerita lumrah ketika musim berkeringat ini datang. Para peternak ikan mau tidak mau mengeringkan empang-empangnya.  Mereka rugi? Tidak, kawan. Mereka kreatif. Profesi lain pun mereka jalani. Ini berawal dari keberlimpahannya eceng-gondok yang mengakar di atas empang-empang kering mereka. Profesi ini mereka jalani dengan memanfaatkan batang-batang tanaman air terapung ini dan menjemurnya hingga kering. Nah, profesi ini melakukan perannya yang sangat penting, menganyam. Ya, perajin anyaman eceng-gondok, itu dia profesi lain mereka.

Hal itu pun terjadi takterkecuali dengan Ucup, pemuda seperempat abad yang kenyang dengan profesi menganyam ini. Jika hujan datang profesi ini tidak ditinggalkannya karena jala-jala ikan harus segera diperbaiki dan ditambal anyam ulang. Jadi taksalah bila keterampilan ini selalu Ucup dan warga desa BBC lainnya jalani.

Suatu hari seorang bule dari negeri kangguru sedang melakukan penelitian di desa Ucup. Ia sedang mempelajari budaya dan kebiasaan yang ada di desa ini. Baginya kebiasaan di sini sangat membuatnya tertarik untuk menelitinya. Setiap jengkal dari kampung ia amati, dari kebiasaan profesi yang sering berubah tiap musimnya hingga kebiasaan ibadahnya. Dengan wajah putihnya sangat membuatnya kontras dikerumunan penduduk. Tentunya sangat mudah mengindentifikasi keberadaan sang peneliti selain soal kulitnya yang pias itu, yaitu; adanya keramaian, adanya makanan cemilan kota yang diperebutkan oleh anak-anak desa, dan kilatan cahaya menyerupai petir berasal dari kameranya yang membuat girang warga desa di sekitarnya. "Asik euy difoto ... "Sahut salah satu penduduk dengan girang.

Nuju Ngantosan ilham, to be continue pembaca >>>>

Friday, February 21, 2014

Ceritakan Lagi, Kek!


Kisah ini berawal dari sebuah rumah berdindingkan bambu yang teranyam. Di sana Seorang kakek sedang mendongeng sarat hikmah untuk cucu semata wayangnya. Cucu semata wayangnya yang masih gadis kecil. Kakek itu menceritakan sebuah kisah yang berasal dari negeri gurun pasir sana. Sang cucu dengan manja menyandarkan kepala mungilnya di pangkuan sang kakek yang menyayanginya. Dengan sabar sang kakek menceritakan kisah Hanif dan Jalal. Tentu cerita ini pernah didengar oleh kebanyakkan orang atau bahkan kalian belum pernah mengetahuinya? Baiklah begini cerita sederhana itu bermulai.

Alkisah di negeri gurun pasir terdapat sebuah kerajaan yang termansyur. Kerajaan ini begitu makmur pun rakyatnya. Raja di sana begitu adil dan arif serta bijaksana. Singkat cerita di kerajaan itu terdapat  dua orang pelayan atau bisa dikatakan asisten rumah tangga raja. Kurang lebih seperti itulah. Namanya Hanif dan Jalal.

Kedua pelayan ini merupakan pelayan yang amat dipercaya oleh Raja, terkhusus untuk urusan membereskan kamar utama Raja. Kedua pelayan ini sudah lama bersahabat. Teramat lama. Bahkan sebelum mereka lahir ke dunia ini. Ya, sebab kedua orang tua mereka telah bersahabat sejak lama. Bahkan bila mereka terlahirkan lain jenis maka perjodohan sudah terikrarkan oleh kedua keluarga. Namun sayang takdir berbicara lain. Maka pantaslah persahabatan dua pelayan ini kita sebut dengan "persahabatan yang terwariskan." Ini takperlu diuji, lihat saja bagaimana mereka selalu akrab dan bekerja saling melengkapi. Sebagai pengikat persahabatan bayi mereka, orang tua masing-masing mengikatkan gelang persahabatan mereka kepada kedua anaknya. Sungguh indah bukan persahabatan mereka?

Raja selalu puas dan makin percaya dengan mereka berdua. Raja selalu memuji hasil kerja mereka. Kamar selalu bersih dan rapih tentunya sangat amat terawat. Di antara mereka tak-ada persaingan, mereka saling melengkapi. Pekerjaan mereka sama, jabatan mereka sama, dan tentunya seragam mereka pun sama, yang ini karena fasilitas dari kerajaan selalu sama. Sungguh indah bukan persahabatan mereka?

Mereka sudah sangat seperti saudara. Kalau boleh diibaratkan mereka adalah saudara kandung yang terlahir beda orang tua. Perselisihan diantara mereka amat sederhana dan tak-ada hitungan dua menit mereka sudah akur kembali. Indah bukan persahabatan mereka?

Selang tiga tahun kedepan, Hanif dan Jalal kini telah berkeluarga. Mereka hidup bertetangga. Istri mereka pun begitu cepat akrab. Suasana di antara rumah dua keluarga itu amat menyenangkan. Teramat nyaman untuk diceritakan. Mereka saling berbagi ketika berkelebihan makanan atau barang. Sungguh persahabatan yang menular.

"Indah bukan persahabatan mereka?" Tanya sang kakek dengan senyuman terbaiknya kepada sang cucu, gadis kecil yang manja di pangkuannya.

"Iya Kek. Indah sekali." Seketika menegakkan badan mungilnya yang terrebah tadi dengan girang. "Teruskan lagi ceritanya, Kek!" Pintanya dengan manja.

"Baiklah. Kamu rupanya sudah tak sabar ya, Cu." Tembal sang Kakek dengan sabar.

Disuatu hari sang raja begitu memuji-muji berlebihan hasil kerja Hanif yang kala itu membersihkan kamar raja seorang diri. Kebetulan pada saat itu Jalal dalam kondisi kurang enak badan dan berpesan pada sahabatnya untuk izin tidak dapat membersihkan kamar raja seperti biasanya. Tanpa disangka kabar ini sampai kepada Jalal yang sedang terkujur lemas dirumahnya. Alhasil dalam dada Jalal ada perasaan yang takseperti biasanya. Perasaan ini seperti tersaingi. Perasaan yang merasa didepak dari tugasnya. Perasaan yang amat takbersahabat. Sungguh perasaan ini memakan habis rasa persahabatan yang telah mendarah daging dan terwariskan ini. Sang istri dengan cepat menghasut Jalal dengan menyumbang ide untuk menjatuhkan Hanif sahabat karibnya ini. "Sudahlah Bang. Kita kerjai saja Hanif. Sepertinya ini akal bulusnya dia agar bisa menyingkirkan abang darinya." Hasut istri Jalal sambil memijit punggung suaminya.

Dalam hati kecil Jalal masih takhabis pikir dengan ide sang istri. Begitu teganya menghianati sahabatnya sendiri. "Masak Jalal seperti itu Dik?"

"Kalau begitu dia tidak akan menjerumuskan Abang seperti ini, dong."

"Menjerumuskan gimana Dik?" Jalal mulai heran dengan pola pikir istrinya.

"Abang polos amat. Si Hanif cuman manfaatin sakitnya Abang saat ini biar dapet perhatian lebih dari raja. Masak Abang gak ngerasa?"

Rupanya Jalal gelap mata dan termakan hasutan sang istri. Tanpa panjang pikiran mereka berdua membuat strategi untuk menjatuhkan Hanif di depan Raja.

"Udah Bang kita buatin masakkan kesukaan dia saja. Gimana?"

"Terus?"

"Ya, udah kita saranin aja dia untuk menutup mulutnya dengan tangan kalau menghadap Raja. Bilang saja kalau mulut kamu membuat bau Raja. Bagaimana?"

Dengan wajah riang penuh dendam Jalal pun setuju.

Selepas malam, Jalal mengundang makan malam sahabatnya beserta istri dirumah sederhananya. Kali ini hidangan yang tersaji berlauk-pauk serba jengkol. Tentu ini membuat Hanif begitu merasa dijamu berlebihan. Namun Hanif selalu menerima apa saja yang diberikan oleh tuan rumah ketika bertamu. Tentunya yang tersaji di depan matanya adalah hidangan kesukaannya dan istri.

Mereka pun menyantap bersama hidangan yang ada dengan lahap. Sela-sela hampir hidangan habis Jalal berpesan kepada sahabatnya, "Hanif, kau besok sepertinya harus menutup mulutmu ketika bertemu dengan Raja."

"Kenapa memang Jalal?" Tanya Hanif dengan tanpa curiga.

"Ya, karena jengkol ini." Jalal menjelaskan sambil mengacungkan sebiji jengkol santapan mereka saat itu.

"Oh iya. Tentunya Raja takmau kebauan karena mulutku ini."

"Nah itu dia yang kumaksud, sahabatku. Kalau aku kan aman karena takkan masuk besok dikarenakan masih kurang enak badan." Jalal pun mengiyakan dan disusul gelak tawa seisi rumah.

Wednesday, January 15, 2014

Telinga Selalu lebih Tahu...



Telinga. Telinga selalu saja lebih tahu apa yang taktahu oleh mata dan hidung. Bahkan anggota tubuh yang lainnya. Telinga selalu lebih tahu apa itu suara burung berkicau, suara deru mesin motor yang sedang dipanaskan, selalu lebih tahu mana suara si bungsu Diki dan sang kakaknya Dika yang mereka keduanya kembar tak-identik. Peran anggota tubuh yang berdaun dan berumah siput itu amatlah penting bagi mereka yang bekerja atau memiliki passion dibidang musik dan sejenisnya.

Telinga kini kau menjadi salah satu target industri. Lihat saja di Mall-mall atau pasar-pasar alat elektronik begitu banyak alat yang dapat memanjakanmu. Dari mulai jaman tahun '90-an saat itu wokmen begitu berjaya dan radio tape. Awal tahun 2000-an mp3 player menggeser kejayaan wokmen dan radio tape. Dan kini makin menggila lagi. Perangkat smart phone berlomba-lomba untuk menyempurnakan kejernihan dan memudahkan semua ini. Atau industri lainnya, hahareosan atau infotaimen. Sudahlah saya tak mau bahas yang satu ini, cukup sekian dan terima kasih.

Baiklah saya coba ceritakan pengalaman sederhana saya ketika tersesat disalah satu hutan di bukit yang takjauh dari kampung saya tinggal. Saat itu saya mencoba untuk mencari jalan pintas menuju kebun salah satu saudara sepupu saya di sana. alhasil saya malah tersesat. Saat itu kondisi awan sedang mendung-mendungnya. Mengandalkan lumut yang ada di batang-batang pohon belum cukup membantu menemukan arah mata angin. Cukup lama saya tersesat hampir setengah jam berjalan mencari celah keluar rimbun hutan. Namun entah bagaimana itu bisa terjadi tiba-tiba saya mendengar gemercik air yang bersumber seperti dari pancuran. Dengan spontan saya coba untuk menghampiri sumber suara dan syukur Alhamdulillah rupanya di sana sepupu saya sedang asik mengambil air, berwudhu. Begitulah pengalaman sederhana saya.

Rasa-rasanya memang telinga memiliki peranan penting bagi sesiapa saja. Baik saya, anda, dan orang-orang di luaran sana.

Namun bila saya boleh berpesan kepada telinga. Bolehlah bila kau tak berberat hati untuk tidak salah mendengar, bila ada suara atau informasi penting. Sebab jika tidak, bisa menimbulkan perpecahan atau permusuhan. Seperti pada saat ini, banyak yang bermusuhan entah itu di rumah tangga, kantor, lembaga-lembaga penting di negara dan atau pemerintahan pusat dan daerah, sekolah, dan di mana saja. Dan kesemuanya itu dilatar belakangi dengan sebutan banyak orang di luar sana, "miskom".

Tapi miskom yang menghibur hanya ada di tayangan lawak acara teve saja. Bang Haji Bolot itu dia orangnya yang saya ketahui perintis aliran lawak yang unik ini.

Sudahlah takut semakin ngaco tulisan saya ini. Selamat mendengar lagu kesayangan anda, tentunya bersihkan pula telingamu, kawan. Sehari sekali bila sempat atau seminggu sekali, itu terserah anda. Dan beraktivitas kembali.[]

Tuesday, January 7, 2014

Masih Ingat Saya?


Alkisah ini berawal dari sebuah pertemuan yang tak-disangka-sangka. Ketika ketidaksengajaan seseorang menabrakku di sebuah stasiun tempat biasa aku memburu kereta listrik pagi buta demi absensi yang takpernah telat. Ya mesin scaner  itu selalu men-scan jemariku demi upah yang tak-terpotong. Pagi itu entah mengapa aku bisa bertabrakkan dengan seorang pemuda seperempat abad. Nampaknya aku tak-terburu-buru karena rutinitas ini membuatku terlatih.

"Maaf Mba, saya buru-buru." Dengan wajah memelas ia pun meminta maaf.

"Iya, gak apa-apa." Jawabku tersenyum sambil mengambil tas jinjingku yang sempat terjatuh. Pertemuan itu begitu singkat sekali. Hanya sesederhana itu saja. Tak-ada tanya nama atau alamat, bahkan nomor telepon. Ah, hal seperti itu hanya ada dalam sinetron saja.

Kami pun bergegas menuju gerbong kereta masing-masing. Jalur Jakarta yang aku tunggangi. Pemuda itu telah lenyap dikeramaian gerbong lainnya.

Pekerjaanku sebagai karyawati di sebuah bank terkemuka di negeri ini menuntutku harus tetap gesit dan cekatan. Teller, itu dia profesiku kini. Pekerjaan yang aku lamar tiga bulan yang lalu. Tentunya penampilan yang anggun dan elegan menjadi standarku saat ini. Tapi itu berlaku ketika sudah sampai di kantor. Kalau untuk sekedar menyeberangi satu gerbong ke gerbong yang lain rasa-rasanya takperlu berpenampilan berlebihan. Cukup saja dengan berpakaian santai tapi sopan. Bagiku cukup.

***

Sesampainya di kantor,

"Pagi Mba Ratna." Tegur ramah Pak Nurdin, salah-satu security yang cukup senior di kantor. Sambil membukakan pintu

"Pagi Pak. Bagaimana kabarnya, Pak Nur?" 

"Baik Mba. Kalau Mba sendiri bagaimana?" Masih dengan keramahannya Pak Nur kembali bertanya.

"Oh, baik sekali Pak. Selamat bertugas Pak."

"Sama-sama Mba. Semoga betah ya Mba."

Aku pun berlalu dengan riang meninggalkan Pak Nurdin yang ramah itu di tempatnya ia bertugas. Tentunya aku bergegas membereskan meja kerjaku yang lebih tepatnya meja stand kami. Meja kami. Meja kerja Lona dan aku.

"Pagi Say." Lona dengan senyum lesung pipitnya itu menyapa.

"Pagi Cantik." 

"Terima kasih, Cantik." Begitu Lona, selalu saja bisa membalas pujianku dengan pujiannya.

Hari ini nasabah kami begitu padat. Maklum di tanggal tua banyak sekali transaksi. Setoran atau pun tarik setoran. Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tahu mau diapakan semua uang mereka. Uang mereka hak mereka tentunya. Kami hanya sekedar melayani dengan se-prima mungkin. Walau aku dan Lona masih dalam tahap masa percobaan. Tapi bagiku dan Lona ini sudah bukan perkara yang sulit. Kami terbilang karyawati yang cepat belajar.

Tiga bulan terakhir ini kami sudah seperti sahabat yang lama kenal. Lona kini menjadi sahabatku yang baik dan cantik. Kami selalu menghabiskan waktu kami dengan bersama-sama. Seperti makan siang, belanja jika kami mampu, dan berangkat liburan akhir pekan sekaligus akhir bulan ketempat-tempat wisata di Jakarta. Bulan kemarin kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan. 

"Sudah puas kan ngejenguk paman kamu, Na?" 

"Paman apa?" Tanyaku heran.

"Itu tuh, Orang Utan." Lona memasang wajah menyeringainya yang menyebalkan, bikin hati dongkol. Tapi ia pandai mengambil hati orang. Lihat saja selepas keusilannya itu ia tawarkan suasana dengan mentraktir semangkuk makanan favoritku, baso.

Begitu kebersamaan kami selama tiga bulan terakhir. Menyenangkan, saling mengakrabkan, dan tentunya selalu hangat dengan candaan kami.

Terkhusus hari ini, Lona dan aku begitu sibuk. Tak-ada senyuman pagi tadi. Kini yang ada hanya wajah-wajah serius terpasang di kami. Walau sekali lagi aku bilang, kami terbilang yang cepat dalam menyesuaikan diri soal pekerjaan.

Saat jam istirahat tiba di kantin belakang lona pun berujar, "Lumayan juga hari ini." Sambil mengusap-usap keningnya yang berkeringat.

 "Bukan lumayan lagi Lon. Ini seperti artis kebanjiran penggemar yang memburu tanda tangan kita." Aku pun duduk di sampingnya sambil membawa pesanan kami berdua.

"Hahaha, artis. Boleh juga perumpamaannya." Terkekeh-kekeh Lona menyambut guyonanku.

Habis sudah pesanan makan siang kami. Tandas sudah piring-piring kami tak-bersisa, kecuali tulang-belulang ayam goreng nasi timbel yang mudah-mudahan sejuta tahun lagi akan menjadi fosil berharga. Lona selepas makan izin sebentar ke toilet sambil membawa smart phone-nya yang berdering. Aku masih terduduk di meja favorit makan siang kami, pojokkan sebelah kanan dekat jendela berpemandangan Jakarta. Sungguh sibuk kota ini. Aku pun terkadang sempat berpikir, sungguh beruntungnya aku dapat mencicipi kehidupan di kota sebesar ini dan sudah memiliki status kerja yang jelas.

Selang lima menit Lona pun menghampiriku dengan wajah sedikit murung. "Kenapa kamu cantik?" Empatiku mencoba menghiburnya.

"Nggak pa-pa, yuk." Ajaknya dengan lemas.

Aku pun menghampirinya dengan rasa yang tak tentu. Sebagai teman dan patner kerja aku harus dapat menjadi teman berbagi baginya. "Ada yang mau diceritakan. Lon?"

"Nanti saja selepas kita pulang." Jawabnya singkat.

Suasana kerja kami pun tak seperti biasanya. Walau senyum Lona mengembang setiap kali melayani nasabah, aku yakin hatinya masih sedih. Biarlah, nanti sepulang kerja saja aku membahasnya.

Tepat pukul 19.00, kami pun bergegas siap-siap untuk pulang. Aku pun menghampiri Lona yang masih termenung, "Cantik kenapa?"

Lona pun membenamkan wajahnya di pundakku sambil menumpahkan butir-butir kesedihan dari sudut matanya.

"Kenapa Cantik? Ada apa?" Tanyaku mencoba menenangkannya.

"Brian, Na. Dia ja-hat." Ujarnya dengan tercekat ingus dan tangisannya.

"Siapa Brian? Pacarmu, Cantik?"

Ia pun mengangguk pelan. Kemudian mengelapi hidungnya yang basah dengan tisu pemberianku.

"Oh, kenapa dengan dia?"

"Aku minta putus lewat telepon siang tadi di kantin."

"Loh, kamu yang minta putus, kok, kamu yang nangis?"

"Abis dia bikin sebel."

"Sebel gimana?"

"Sebel soal beberapa hari terakhir ini dia susah sekali dihubungi. Setiap janjian selalu dibatalkan mendadak. Makanya tadi dia nelpon mau ngejelasin semuanya. Alasannya kantor tempat dia kerja menugaskannya untuk lembur. Tapi aku gak terima kalau urusan kerjaan dijadikan alasannya. Kan, dia bisa bilang dari jauh-jauh hari, terkesan dibuat-buatnya. Aku pokoknya sebel banget, Na.

"Apa memang semua cowok seperti itu ya, Na? Aku dengan Brian sudah jalan lima tahun, semenjak kuliah dulu sampai sekarang. Bahkan dia membatalkan pertemuan hari jadi kita dengan mendadak. Siapa yang gak sebel coba? Kamu kalau diposisi aku harus ngapain, Na?"

Aku sempat kaget dengan kondisi sahabatku ini. Dia begitu lain, meledak-ledak takseceria bisanya. Tukang usil dan pengambil hati orang yang ulung. "Ya, yang sabar Cantik. Aku kalau diposisi kamu ya akan sama sepertimu. Curhat dengan kamu, menangis, dan mungkin mengambil keputusan yang terburu-buru seperti kamu tadi siang, putus.

"Tapi bukankah kamu sudah menjalani ini cukup lama. Lima tahun itu bukan waktu yang singkat, loh. Coba kamu pikirkan kembali masak-masak. Apa lagi cincin yang melingkar di jari manismu itu sudah menjadi komitmen dia ke kamu kan?"

Dengan sedikit sesenggukkan Lona mengangguk, "Terima Kasih, Cantik. Kamu sahabat yang baik. Aku mau pertimbangkan dulu. Apa lagi keluarga besar aku dengan dia sudah saling ketemu dan merestui hubungan kami. Terima kasih ya." Dia pun memelukku dengan senyuman dan lesung pipitnya.

***

Perkara semalam sudah membuat Lona lega sepertinya. Dan pagi ini aku menjalani kembali peranku seperti biasa. Stasiun menjadi tempatku memburu waktu. Lagi-lagi pria seperempat abad itu kembali menabrakku.

"Aduh, maaf Mba. Saya buru-buru." Wajah itu kembali terekam dan memelas.

"Oh, iya gak apa-apa." Jawabku singkat.

"Oh ya, Mba yang kemarin ya? Masih ingat Saya?" Tanyanya mengenaliku.

"Ya. Mas yang tempo hari menabrak saya juga." Sebenarnya ini hanya basa-basi saja, tentunya aku hafal betul dia yang menabrak dan menjatuhkan tas jinjingku.

"Iya Mba. Kenalkan nama saya Brian."

Ya Tuhan, adegan sinetron ini terjadi juga dalam kehidupan nyataku. "Oh ya, saya Ratna."

"Mba Ratna mau kemana?"

"Oh, saya kerja Mas Brian."

"Oh, dikirain saya mau jalan-jalan. Maaf soalnya taknampak seperti yang lainnya. Terlihat santai."

"Iya, saya selalu ganti seragam nanti di kantor."

"Oh begitu. Kalau boleh tahu Mba kerja dimana?"

"Saya kerja disalah satu bank di bilangan Jati Negara."

"Oh gitu, tunangan saya juga kerja disana Mba. Lona namanya."

Ya Tuhan, dunia ini begitu sempit. Aku baru sadar pria inilah yang aku bicarakan dengan Lona semalam. Benar namanya "Brian" aku lupa. Dari perangainya dia sopan. Sepertinya hanya miskomunikasi saja Lona.

"Mba... Mba....?" Tanyanya memecahkan lamunanku.

"Oh ya. Lona Ayunda Putri bukan?" Tanyaku penasaran.

"Iya betul, yang kerja dibagian teller."

"Kalau Lona yang itu sahabat saya. Tepatnya teman semeja kerja dengan saya." Benar sudah ini benar orangnya.

"Wah, gak nyangka ya. Bisa ketemuan di sini. Kalau begitu salam ke Lona ya." Senyumnya sambil berpamitan.

Aku pun hanya bisa melambaikan tangan perkenalan singkat itu sambil memegang smart phone-ku yang  telah merekam nomor hand phone-nya. Sungguh takpercaya semua ini bisa terjadi bagai sinetron. Perkenalan nama dan diakhiri saling tukar nomor telepon.

Sesampainya di kantor aku pun mendapati sahabatku Lona sudah berseri kembali. Sudah tentu aku ceritakan perkenalan kami ke Lona. Dan pada akhirnya aku menjadi mediator atau tepatnya juru damai bagi mereka berdua di ujung smart phone-ku. Aku kini menikmati peran baru itu dengan enjoy, demi sahabat dan si pemuda penabrak, Brian.[]