Telah ratusan kali jalan komplek
Riung Bandung yang berkilo-kilo terlewati setiap kali pulang. Ini bukan karena
tak ada jalur trayek angkot ke daerah ini atau
bukan pula karena daerah ini tak ada jasa ojek. Tapi ini karena situasi
yang memaksa kaki ini mengharuskan melangkah lebih dari pada biasanya. Situasi
yang kelam mencekam mendekati subuh, sudah bukan hal yang membuat langkah ini
menjadi ragu. Ya, hal yang menjadi rutinitas saya, pulang malam. Kesibukkan di
kampus membuat saya harus memilih menyelesaikan urusan disana dan barulah saya
akhiri perjalanan hari di ujung jalan komplek yang semua penghuni telah terpejam lelap.
Sesekali desir angin malam
menerpa tubuh kurus ini. Seolah-olah menyapa untuk bersahabat dengan
tulang-tulang kaki yang menapaki perjalanan malam ini. Kucing-kucing komplek
disini tiba-tiba menjadi hewan nokturnal yang mengais rezeki bagi perutnya, tak
hayal bila mereka sering terlihat berdiskusi di atas tong sampah depan rumah
mewah sambil menikmati sajian sisa makanan mewah yang sudah tak bertuan. Mata
mereka begitu menyala bila sesekali cahaya kendaraan melewatinya. Seekor tikus
pun bukan menjadi sajian yang lezat lagi bagi mereka. Begitu aman sang tikus
melangkah pasti didepan selusin predator yang telah terduduk nyaman dikursi
singgasananya masing-masing. Lihat saja bundaran bucit perut mereka yang nampak
tak gesit dan terlihat bermalas-malasan.
Perjalanan ini saya teruskan demi
dapat memejamkan kelelahan tubuh ini.
Tas gendong berwarna hitam begitu setia
menemani. Walau talinya sudah tak sekuat dulu. Ya, tak sekuat dulu karena beban
bawaan saya yang selalu membuat tas ini menjadi penuh sesak dengan;
dokumen organisasi, catatan kuliah,
serta mushaf Al-Quran. Oh ya, dan ada
sebuah buku yang saya bawa diperjalanan pulang kali ini. Bukan buku koleksi
perpustakaan kecil di rumah yang saya bawa, bukan pula buku pinjaman dari
seorang teman, apa lagi buku pinjaman dari perpustakaan kampus, atau buku
warisan peninggalan dari leluhur. Ini buku yang tebal. Mungkin nanti saya
tak sanggup membacanya sampai khatam selama sepekan. Mungkin.
Sepanjang perjalanan ini pikiran
saya tertuju pada penghuni baru tas hitam penuh perjuangan ini. Bukan masalah
karena bukunya yang membuat saya kenyang membaca, namun karena kejadian sore
hari tadi. Ya, sore tadi. Jujur saya merasakan biasa saja pada hari ini.
Sungguh terasa tak ada yang istimewa. Hingga sore itu mengingatkan saya pada
hari bersejarah bagi hidup saya dan keluarga. Hari yang bahagia bagi kedua
orang tua saya dan kakak perempuan saya karena kehadiran bayi laki-laki ini
yang diselimuti harapan keluarga besar dan kedua orang tuanya. Dan bayi ini di
beri nama panggilan “Ian”.
Kini bayi itu menjelma menjadi
sosok pemuda kurus yang sedang menghadapi kegelapan malam serta melintasi
gang-gang komplek yang sesekali ada keramaian kucing-kucing gemuk yang
berdiskusi. Terimakasih atas segalanya Ya
Rabb. Ternyata perjalanan ini membuat saya menjadi dewasa. Bahwa tak
selamanya perjalanan itu akan segelap ini.
Buku ini menjadi pertanda
pengingat kejadian dua puluh satu tahun lalu. Taman kampus, lorong-lorong
Fakultas Hukum menjadi tempat dimana buku ini berpindah tangan ke saya. Selepas
rapat evaluasi yang sering saya dan teman-teman perjuangan lakukan itu menjadi
berbeda. Ya, berbeda. Karena salah seorang teman muslimah memberikan ini dengan
berucap, “Selamat Milad, Akh Ian. Semoga berkah usianya…” Saya hanya bisa tersenyum
dan meng-aamiin-kan doánya dalam hati sambil menerima pemberiannya itu.
“Syukron Jazakillah, ya Ukh.”
jawab saya singkat. Ia pun membalasnya dengan senyum dan pamit pulang,
”Assalamualaikum wr wb.”
Kisah hari ulang tahun saya
berakhir di situ dan tak ada sepatah kata lagi yang terucap. Tak ada lempar
telur dan tabur terigu seperti teman-teman di SMA dulu. Atau menjadi ajang
pengurasan kocek tabungan saya. Ini begitu hari yang berbeda. Namun yang ada
hanya senyum-senyum usil dari kawan saya, Putra. Ya, senyumannya itu seperti
berbicara, “cie-cie, dapet buku nih yang milad.” Kira-kira seperti itu
respon Putra setelah menyaksikan adegan drama didepan matanya. Selang beberapa
menit ia pun mengucapkan selamat dengan aksen Jawa-nya, “Selamat Milad, Akh Ian.
Lain kali klo Milad bilang-bilang dong.
Semoga berkah usianya dan mendapat jodoh yang sholehah.” Saya pun
meng-Aamiin-kan doánya sambil mengernyitkan dahi karena kalimat akhir dari
doánya yang menjurus. Namun tetap saya aamiin-kan dengan sikap yang sewajarnya saja.
Walau kata Putra sambil menunjuk-nunjuk, wajah saya yang hitam manis ini berubah
warna menjadi memerah padam.
“La-tah-zan” saya baca perlahan judul buku tebal itu yang artinya
kalau tidak salah -jangan bersedih-. Saya menganggap tak ubahnya sebuah nasehat
dari seorang teman kepada temannya. Namun tatapan Putra berkata lain yang mulai
terlihat memojokkan. Saya tak ambil serius. Memang Putra ini salah satu kawan
yang kreatif dan mempunyai selera humor yang bagus juga. Walau ia termasuk
orang yang pendiam alias jarang ngomong.
Tak terasa pagar rumah telah didepan
mata. Hingga saya akhiri malam ini dengan memejamkan lelap berselimutkan keheningan
malam hingga pagi nanti berjumpa kembali dengan rutinitas seperti biasa.[]
ihhhhh,,,,mengharu biru kan ceritanya.......
ReplyDelete